Search
Close this search box.

Kisah Masuk SD dan Cinta Bapak

Kisah Masuk SD dan Cinta Bapak – Menulis ini tak berhenti tangan menyeka air mata yang membasahi pipi. Menulis kisah masuk SD bagi saya sama saja mengenang bagaimana cinta bapak begitu besar pada diri ini. Entah bapak membaca ini atau tidak di alam sana, harapan saya adalah bapak tetap bangga sudah mencurahkan segala cinta dan sayangnya pada keluarga.

Kalau kebanyakan anak-anak di dunia ini selalu ditemani sosok ibu ke sekolah, mungkin saya salah satunya yang tidak termasuk di dalamnya. Karena bukan ibu yang sering menemani saya, tetapi bapak. Mungkin saja kebetulan bapak dulunya juga bekerja di instansi pendidikan sehingga dunia sekolah bukan sesuatu yang asing untuknya. Berbeda dengan ibu. Apalagi kisah pendidikan ibu harus mengalami gangguan ketika duduk di bangku kelas 2 SMA karena sudah harus menikah. Ya, menikah dengan bapak pastinya, haha.

Alhasil, segala sesuatu yang berhubungan dengan sekolah pun lebih nyaman bicara dengan bapak. Ada hal sedikit saja di sekolah, ngomongnya ke bapak. Hingga persoalan sepele sekalipun seperti ada yang menyembunyikan sepatu saya di balik pintu kelas.

Nah, kalau diminta bicara soal kisah masuk SD, saya seperti membuka aib sendiri, haha. Karena kisahnya sedikit cengeng. Padahal harusnya santai saja kayak di pantai.

Saya masih ingat betul bagaimana pagi itu sangat dingin. Bau seragam sekolah SD yang masih baru, bau sepatu yang selesai disemir ibu, hingga aroma dapur yang sudah bisa kutebak kalau ibu sedang membakar roti untuk bekal ke sekolah. Saya harus mandi dan melakukan rutinitas pagi agar tidak terlambat menghadiri hari pertama masuk SD. Waktu itu, kami masih tinggal menumpang di rumah paman. Kebetulan paman waktu itu belum berkeluarga sehingga rumahnya dipinjamkan kepada bapak untuk kami tempati. Mungkin paman kasihan karena kami yang beranggotakan lima orang masih belum memiliki rumah sendiri.

Bapak dengan sabar menunggu saya dalam keadaan rapi. Padahal bapak bisa membaca raut muka saya kalau sedang merasakan takut. Ya, takut masuk sekolah SD karena sebelumnya ibu sudah sering mengatakan kalau sudah SD berarti sudah tidak boleh bermain-main di kelas. Harus serius mendengar apa kata ibu guru. Rajin belajar dan harus nurut orang tua. Mungkin ibu memang terkesan menakuti saya, tetapi itulah karakter ibu. Tidak seramah bapak.

Saya pun masuk ke halaman sekolah dalam kondisi tangan digenggam erat oleh bapak. Bisa dibayangkan bagaimana posisi jalan saya yang mengalami ketakutan dan mungkin saja sebenarnya canggung. Bapak dengan semangat memberi tahu bahwa sekolah itu aktivitas yang menyenangkan. Banyak ilmu yang bisa diperoleh, harus tekun belajar supaya sukses dan ikut peraturan sekolah. Saya yang saat iitu mendengar kalimat bapak lebih fokus kepada suasana sekolah yang riuh ramai. Ternyata kelas saya tepat di hadapan lapangan bulutangkis. Dan di depan kelas sudah banyak orang tua murid yang berdiri. Mereka mengantar anak-anak mereka ke sekolah plus menungguinya hingga waktunya bel pulang.

Saya yang makin tak menentu perasaannya saat itu sudah berkaca-kaca, tetapi masih menahan diri untuk tidak menangis. Bapak melepaskan genggamannya dan mengantarkan saya kepada guru yang sedang sibuk mengatur tempat duduk. Dan saya mendapat posisi duduk baris kedua dekat dengan meja guru. Otomatis posisi saya jauh dari pintu kelas. Jadinya, saya harus berada jauh dari bapak.

Bapak janji akan menunggu sampai waktunya pulang. Saya pun percaya waktu itu. Hingga seluruh rangkaian penyambutan murid baru selesai, saya pun berpamitan dengan guru yang sepertinya sudah banyak kehabisan tenaga karena suaranya lumayan besar saat menyambut kami.

Saya keluar kelas dan menangis. Saya tidak melihat bapak di depan pintu kelas. Saya sudah melihat sekeliling depan kelas, tetap saja sosok bapak tidak saya temukan. Akhirnya guru kelas satu tadi menghampiri dan berusaha mendiamkan saya.

“Bapak tidak ada. Hu… hu… hu… “ tangis saya terus pecah.

“Sini ibu antar.” guru membawa saya ke ruangan yang berada di seberang lapangan bulutangkis. Rupanya bapak ada di dalam sana. Duduk berbincang dengan orang yang selanjutnya saya kenal sebagai kepala sekolah. Seketika memeluk berlari menghampiri bapak dan memeluknya dalam keadaan wajah masih baah dengan air mata.

Bapak seketika tertawa dan mengatakan bahwa kalau sudah SD tidak lagi boleh cengeng. Beliau juga mengatakan bahwa tadi sudah janji akan menunggu sampai saya pulang dan itu dilakukan bapak. Begitulah bagaimana saya selalu jatuh cinta pada bapak. Sosok yang tidak pernah ingkar janji dan selalu menjaga keluarganya.

Ah, ini kisah masuk SD yang benar-benar tak terlupakan oleh saya sampai kapan pun. Apakah nanti Salfa, anak saya, akan seperti ini? Rasanya tidak. Sebab anaknya jauh lebih dewasa sepertinya, haha.

Facebook
Twitter

Related Posts

2 Responses

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *