Nostalgia Buku Paket Era 90-an – Sepertinya Teteh Ani Berta memang sengaja membawa peserta ODOP (One Day One Post) untuk flashback ke masa lalu, eh maksud saya masa kecil. Kalau menulis masa lalu terkesan berhubungan dengan hati dan rasa (duh duh… yang sensitif sudah bakalan mengerti). Saya senang jika diminta menceritakan masa kecil dan kali ini tentang buku paket turun-temurun yang semua orang yakini telah mencerdaskan generasi tahun 90-an.
Yap, saya bersekolah di bangku sekolah dasar (SD) pada periode 1991-1997. Waktu itu, buku paket yang dipakai bapak dan ibu guru sangat melimpah ruah. Di kantor kepala sekolah, tepatnya SD Negeri 1 Maros, seringkali terlihat pemandangan buku-buku yang masih mulus dan ditumpuk dalam kondisi terikat. Saya yang bersekolah pada era tersebut merasa senang karena orang tua tidak dibebankan untuk membeli buku paket (istilah di kampung saya, Maros, buku paket itu adalah “buku cetak”).
Setiap murid diberikan, tepatnya dipinjamkan, buku paket untuk semua jenis mata pelajaran. Bahkan saya masih ingat betul, mulai dari kelas I hingga kelas VI SD, hadiah bagi peringkat 1 hingga 3 akan mendapatkan buku paket untuk jenjang kelas berikutnya. Bukan bermaksud pamer, dari kelas I saya tidak pernah keluar dari salah satu dari ketiga peringkat tersebut, sehingga boleh dibilang saya menjadi salah satu murid yang beruntung karena mendapatkan buku paket dengan status kepemilikan yang sah dan bukan “dipinjamkan sekolah”.
Buku paket dengan status pinjaman sudah menjadi kewajiban setiap murid untuk menjaga dan merawat sampai satu periode tahun pelajaran selesai. Saya masih ingat ketika duduk di bangku SD kelas IV harus menjilid ulang buku paket karena lembaran-lembarannya sudah ada yang terlepas dari bending-nya (baca: lem). Bahkan ada buku paket kehilangan beberapa halaman. Maklum saja turunan kakak kelas sebelumnya sangat bisa dipastikan tidak melakukan kewajibannya terhadap buku paket tersebut dengan baik. Maka pada saat duduk di kelas V saya mengusulkan kepada wali kelas untuk memasang paku buku. Selain buku paket kelas V memang dibuat dengan jumlah halaman paling banyak alias tebal, alasan terkuatnya adalah supaya nggak ada kasus halaman buku yang hilang. Ya, saya kasihan saja dengan adik kelas yang menjadi pewaris buku paket selanjutnya.
Sesederhana apapun sampul atau cover buku paket yang diterbitkan di era 90-an, tidak bisa ada yang menyangkal bahwa buku paket tersebut telah mencerdaskan generasinya sehingga menjadi seperti sekarang. Ayo yang menikmati dunia sekolah era 90-an tunjuk tangan! Setuju kan dengan kalimat saya?! Hehe…
Oiya hampir terlupa, buku paket ini juga menjadi paspor untuk dinyatakan naik kelas pada zaman saya lho. Jadi benar-benar buku paket harus dianggap seperti milik sendiri tetapi hak kepemilikan tidak ada sama sekali. Selesai tahun ajaran, mau nggak mau harus dikembalikan ke sekolah.
Hmm… kalau teman-teman sendiri yang bersekolah di era 90-an juga punya cerita menarik dengan buku paket? Cerita dong…
5 Responses
Ingettt…eh..aku dah lulus sma sih tahun 90an..huahahhahaa…
Enaknya sistem pendidikan lalu tidak terumit saat ini. Dimana setiao pergantian kelas umumnya berganti juga buku2nya
Mbak Rahma masuk SD aku lulus SMA, berasa kakak senior 😀
hihihi paspor kenaikan kelas, mau nggak mau kudu murid juga belajar bertanggung jawab akan barang yang dipinjamnya. Saya pernah ngalamin ini juga tuh 😀
Wah, ternyata kita satu generasi mbak.. Aku juga SD nya tahun segitu.. Jaman segitu memang enak, nggak perlu beli, buku paketnya dipinjami, dengan syarat dijaga dengan baik 🙂