“Jangan tanyakan apa yang sudah negera berikan untukmu. Tapi tanyakan apa yang sudah kamu berikan untuk negaramu.” (John F. Kennedy)
Jleb!Â
Mendengar qoute terjemahan yang berasal dari mantan Presiden Amerika Serikat, saya jadi teringat dengan obrolan ringan tapi berhasil mengajak anak usia 6 tahun memahami bahwa langit biru Indonesia itu bisa dimulai dari dirinya sendiri.
Mengapa Langit Tidak Biru?
“Bun, kenapa sih langit tidak seperti yang ada di film kartun?”
“Karena banyak kendaraan, banyak pabrik, banyak gedung tinggi.”
“Lo, padahal di kartun juga banyak kendaraan, gedungnya juga tinggi. Kok bisa gitu ya, Bun?”
“Bisa jadi di kartun sudah pakai bahan bakar yang tidak mengotori udara.”
“Hmm, memang di dunia nyata nggak ada, Bun?”
“Ada sih, tapi belum semua mau sadar menggunakannya.”
“Orang dewasa selalu seperti itu. Nyuruh anak kecil nurut. Mentang-mentang sudah besar.”
“Eh, kok ngomong gitu? Dengar darimana?”
“Itu kata di kartun, Bun. Kasihan langitnya…”Â
“Hmm, mau bantu Bunda nggak supaya langit biru seperti di kartun benar-benar ada?”
“Gimana, Bun?”
“Coba kita kasih tahu ayah kalau isi bahan bakar motornya pakai yang asapnya nggak bikin kotor udara.”
“Siap, Bun.”
***
Dan benar seketika si anak perempuan bertubuh mungil dan kritis ini memberikan informasi kepada ayahnya sesuai dengan instruksi yang saya sampaikan. Ya, langkah nyata sederhana yang bisa dilakukan. Setidaknya si ayah sudah aware dan punya kebiasaan baru dengan membeli bahan bakar ramah lingkungan.
Langit Tidak Biru, Salah Siapa?
Kondisi langit tidak biru memang masalah yang kita hadapi saat ini. Polusi udara terjadi dengan mudah dan butuh penanganan segera karena:
- Lingkungan yang bersih dan sehat adalah hak asasi manusia dimanapun berada
- The real pandemy yang sesungguhnya adalah kesehatan dan keselamatan warga negara menjadi terganggu akibat udara tercemar
Hak asasi manusia untuk mendapatkan lingkungan yang bersih sudah diatur pada UU. No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Berkaca dari dua hal di atas, maka program Langit Biru bisa diwujudkan dengan kesadaran akan penggunaan bahan bakar ramah lingkungan agar udara menjadi tidak tercemar lagi.
Tidak perlu mencari siapa yang salah karena justru akan berputar di situ saja tanpa ada solusi. Oleh karenanya itu, diperlukan kesadaran dari diri sendiri dulu kemudian dibantu kerja sama dengan pihak-pihak terkait.
Bahan Bakar Ramah Lingkungan
Seperti yang sudah saya sebutkan di atas bahwa bahan bakar ramah lingkungan menjadi sorotan sangat penting karena keberadaan sumber daya satu ini memang tidak terlepas dari kebutuhan.
Pertamina sudah mengeluarkan produk bahan bakar yang bisa dipilih oleh masyarakat, yaitu bahan bakar dengan nilai oktan tinggi. Nilai oktan adalah  angka yang menunjukkan seberapa besar tekanan yang bisa diberikan sebelum bensin terbakar secara spontan. Jadi, semakin tinggi nilai oktan maka kemungkinan bahan bakar untuk menghasilkan residu pemakaian itu semakin kecil.
Adapun produk bahan bakar dari Pertamina dengan nilai oktan tinggi adalah
- Premium (nilai oktan 88)
- Pertalite (nilai oktan 90)
- Pertamax (nilai oktan 92)
- Pertamax Turbo (nilai oktan 98)
Namun, pada realita di masyarakat, harga produk di atas terbilang mahal sehingga wajar jika masyarakat lebih memilih menggunakan PREMIUM sebagai bahan bakar. Nah, di sinilah masalahnya untuk kemudian menyadarkan mereka bahwa bahan bakar PREMIUM menjadi pemicu masalah lingkungan, khususnya polusi udara sehingga jelas langit sulit menjadi biru.
Masih banyak yang butuh dipahamkan bahwa bahan bakar ramah lingkungan adalah bahan bakar nir premium. Dan ini tugas kita sebagai warga negara yang sudah menyadari hal tersebut.
Selain itu, mewujudkan masyarakat sadar akan bahan bakar lingkungan diperlukan kerja sama dengan pemerintah perihal transformasi harga bahan bakar ramah lingkungan sehingga dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Tidak hanya untuk yang punya uang banyak tetapi warga di bawahnya pun bisa merasakannya.
Langkah 5M Dukung Program Langit Biru
Pada hari Rabu, 3 Maret 2021 lalu, saya membuktikan lagi langkah nyata saya untuk menambah pengetahuan mengenai Program Langit Biru dengan mengikuti Diskusi Publik bertema “Penggunaan BBM Ramah Lingkungan Guna Mewujudkan Program Langit Biru” yang diadakan oleh KBR dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI).
Senangnya karena Diskusi Publik ini menghadirkan narasumber dari YLKI tentunya, Institute for Essential Service Reform (IESR), Putri Pariwisata Indonesia 2017, Direktur Pengendalian Pencemaran Udara KLHK , Tokoh Masyarakat dan Journalist, serta Influencer yang namanya sudah dikenal sebagai penggiat kelestarian lingkungan hidup.
Dari diskusi ini saya mendapatkan “oleh-oleh” berupa semangat untuk berubah yang dimulai dari keluarga kecil kami dulu. Kebiasaan untuk menggunakan bahan bakar ramah lingkungan menjadi langkah nyata dan paling sederhana. Sebab, kita bisa melakukannya langsung saat itu juga.
Berikut langkah 5M yang bisa dilakukan untuk mensukseskan Program Langit Biru, antara lain:
1. Menolak Pakai PREMIUM Lagi
Ya, jangan pakai bahan bakar PREMIUM bersubsidi lagi tetapi beralih ke bahan bakar dengan nilai oktan tinggi seperti PERTAMAX atau PERTALITE. Harga memang boleh beda, tetapi Program langit Biru memiliki manfaat yang jauh lebih besar karena kontribusi kita untuk beralih dari PREMIUM.
“Mulai besok saya akan pakai Pertamax Turbo ya, Pak.” Ucap Banadhi Kurnia Dewi saat diskusi berlangsung.
Saya salut karena langkah nyata beliau dengan itikad kuat dan janji untuk berubah. Dan Pertamina pun sedang berupaya terus-menerus untuk mewujudkan bahan bakar ramah lingkungan yang terbaru. Seiring dengan itu, bapak Tulus Abadi selaku Ketua Pengurus harian YLKI, meminta pemerintah agar konsisten terus melakukan program Langit Biru ini.
Salah satu jalannya adalah pemerintah melakukan kebijakan transformatif dalam penggunaan BBM ramah lingkungan, memberikan insentif harga BBM ramah lingkungan kepada warga hingga upaya untuk terus mengadakan produk BBM ramah lingkungan.
2. Minimalisasi Bepergian dengan Kendaraan Pribadi
Hal ini untuk mengurangi pemakaian bahan bakar. Meskipun sudah menggunakan bahan bakar ramah lingkungan, bukan berarti juga seenaknya berkendara pribadi kesana-kemari tanpa tujuan jelas, bukan? Sebaiknya minimalkan saja keluar rumah apalagi pandemi seperti ini prefer di rumah saja.
“Kan ada kendaraan listrik yang tidak perlu bahan bakar!”Â
Pasti ada yang bergumam seperti itu, kan? Namun, pada kesempatan diskusi kemarin justru Olga Lydia kembali mengajak kita berpikir:
“Kalau pakai listrik, apakah yakin tidak ada emisi yang dihasilkan? Atau malah ada masalah baru yang kemudian timbul kedepannya.”Â
Diskusi yang sangat menarik karena benar-benar mengajak untuk berpikir, menyadari dan pastinya mengambil tindakan nyata tanpa menunggu nanti dan nanti.
3. Manfaatkan Media Sosial dan Blog untuk Ajak Masyarakat Menggunakan Beralih ke Bahan Bakar Ramah Lingkungan
Media sosial saat ini menjadi hal yang sering dipantau, dibaca bahkan diikuti. Nah, sebagai penggiat media sosial dan juga blogger alangkah bermanfaatnya jika senantiasa mengajak kepada kebaikan melalui postingan ajakan untuk mewujudkan program Langit Biru dengan bahan bakar ramah lingkungan.
Nah, ini juga menjadi pesan dari Citra Dyah Prastuti selaku journalist yang hadir sebagai narasumber bahwa kepedulian kita itu sebagai wujud hak kita akan udara bersih setelah kewajiban kita mengedukasi. Dan menurut WWF sendiri, kondisi alam sekarang ini udaranya kotor akibat emisi karena ulah manusia sendiri. Akibatnya polusi yang terjadi juga akan berdampak pada manusia kembali, khususnya anak-anak.
Untuk itu sangat tepat jika menjadikan media sosia dan blog sebagai media untuk mengedukasi mengenai Climate Crisis yang sedang dihadapi bersama sekarang ini.
4. Momen Lepas Kangen Dijadikan sebagai Celah Edukasi Keluarga Besar
Saat ini bertemu dengan keluarga besar lebih sering digunakan di media chat seperti WhatsApp bahkan jika ingin langsung melihat satu sama lain bisa dengan Zoom atau Video Call. Nah, momen bertemu dengan keluarga ini bisa menjadi langkah sederhana untuk mengingatkan agar menggunakan bahan bakar ramah lingkungan. Bahkan sekarang lebih simple, cukup share gambar disertai copywriting akan indahnya program Langit Biru, maka sering terjadi keluarga lebih cepat memahami.
Jadi, jangan sampai momen lepas kangen berlalu begitu saja tanpa ada informasi yang mereka bisa peroleh, khususnya dalam menjaga kesehatan dan upaya mendukung Langit Biru Indonesia kembali seutuhnya.
5. Mendoakan Diri dan Pihak yang Berkaitan agar Selalu Diberikan Kelancaran Dukung Program Langit Biru
“Usaha tanpa doa itu Sombong. Doa tanpa Doa itu Sia-Sia.”
Sebagai manusia yang percaya bahwa ada Dzat yang Maha Mengatur alam Semesta ini, maka senantiasa pula mengembalikan kepadaNya. Usaha membirukan kembali langit Indonesia adalah tugas mulia karena manfaatnya pada makhluk di bumi akan sangat besar. Menghindari semaksimal mungkin upaya merusak, mencemari, mengotori atau apalah namanya, untuk kepentingan bersama.
Saya teringat juga akan ucapan bapak Dasrul Chaniago bahwa sebagai manusia beragama, perbuatan merusak lingkungan itu dilarang. Namun sayangnya banyak manusia yang tidak memahami bahwa apa yang telah dilakukannya.
Untuk itu, meminta doa, terus berusaha dan tawakkal dengan sebenarnya adalah langkah nyata sederhana yang bisa dilakukan dimanapun dan dalam bentuk apapun. Semoga selalu istiqomah!
***
Well, inilah langkah nyata sederhana yang bisa dilakukan dan saya kemas dengan 5M. Mulai dari diri kita sendiri, keluarga kecil hingga keluarga besar dan akhirnya ke masyarakat, sudah mampu menjawab apa yang sudah kita berikan pada negara Indonesia kelak. Lakukan sekarang, jangan tunggu nanti atau tidak akan terwujud sama sekali.
26 Responses
Saya setuju banget dengan mba Rahmah. Memang sebagai manusia yang mengaku punya Tuhan sudah sepatutnya untuk punya kesadaran tinggi agar tidak berperilaku merusak lingkungan. Semoga bisa lebih banyak lagi manusia yang bisa lebih sadar untuk lebih tidak merusak lingkungan.
Bener banget nih. Di kota-kota besar udh susah banget menemukan langit biru. Biasanya cuma terjadi pas weekend kala masyarakat ngga banyak yang bekerja dan lebih tinggal di rumah. Tapi saat pandemi, org2 jd jarang yg kluar rumah. Langit biru makin sering kita temukan. Efeknya, udara jg lbh segar.
OK mulai hari ini, gw akan pake Pertalite dulu deh sebelum ke Pertamax. Hehehe.
Saya bersyukur sekarang tinggalnya agak dekat dengan pantai, Mbak. Jadi kalau pengin lihat langit biru, tinggal melipir sedikit hehehe. Terus sudah beberapa tahun ini motor saya pakai pertalite. Dan selama pandemi, kalau tidak perlu sekali, saya tidak keluar rumah.
Tapi memang yang menarik, walau sekarang ada kendaraan pakai listrik, tapi tetap ada biaya listrik yang harus dikeluarkan saat ngechasnya. Terus kalau menurut saya, memang masih efektif pakai bahan bakar, namun harus mulai terus diciptakan yang ramah lingkungan.
Sejak pandemi, kondisi langit Surabaya (kayaknya) makin biru ya Mba
di satu sisi, sebel juga siikk karena kita terpaksa kudu #dirumahaja melulu
tapii, kalo lihat langit ceraaahhh ceria syalala gitu, hati juga ikutan bahagiaaa 😀
Dulu sering pakai transportasi umum, tapi semakin ke sini makin jarang, eh beralih pakai ojol :))
Tapi kalau perjalanan jauh seringnya pakai kereta, biayanya murah, di dalam gerbong juga seringnya ngobrol sama penumpang, berasa jadi pahlawan lingkungan krn masih mengandalkan transportasi umum :))
Aq tinggalnya di kampung mbak, Alhamdulillah masalah polusi masih aman. Tapi makin banyak juga pabrik yang mulai beroperasi di wilayah kampung
Ya sementara memang kita beralih ke yang ramah lingkungan. Jangka panjang nanti akan beralih ke mobil listrik.
Untuk bahan bakar, aku udah ganti ke Pertalite atau Pertamax. Lagian Premium juga jarang sih. Kalaupun ada tuh ngantri banget, malas. Jika ke luar kota, aku pun naik kendaraan umum. Lebih enak, gak cape. Semoga dengan hal kecil ini kita bisa bantu langit jadi biru
Wah si kecil pinter banget nih. Betul, setuju mbak. Hal besar dimulai dari hal kecil. Dan hal kecil ini dimulai dari diri sendiri dulu. Dua jempol dah
SPBU di dekat tempat tinggal saya sudah tidak lagi menyediakan Premium. Jadi sudah cukup lama saya pakai Pertalite, kadang Pertamax. Sedikit lebih mahal memang, tapi efeknya bagus kok. Nggak cuma buat lingkungan, tapi juga buat kendaraan biar mesinnya lebih terjaga
Seruuuu program dari langit biru yaa, intinya segala kebaikan baik itu untuk lingkungan dan alam dimulai dari diri kita masing-masing ya mbak. Saya juga udah lama nggak pakai premium lagi, terus sedikit demi sedikit mengajak orang-orang untuk menjaga lingkungan lewat postingan sosial media dan blog.
Kangen juga ya sama udara bersih, langit biru, kicau burung, hijau daun dan pepohonan… Di kota besar yg kayak gini udah langka. Semoga makin banyak yg sadar untuk berperilaku lebih ramah lingkungan, termasuk dalam hal berkendaraan. Ke depannya produk2 juga kudu lebih ramah lingkungan
efektif banget sih pakai pertalite atau pertamax, kalo premium memang bikin bahan bakar jadi merusak udara. Namun banyak di daerah pelosok masih memakai premium ketimbang pertalite, karena mereka ada yang khawatir tentang bak BBM bekarat karena di isi oleh pertalite
Birunya langit tergantung dari kualitas udara juga ya?! Pantesan di Indonesia, terutama kota-kota besar, kalo bernapas itu kayak nggak fresh, mungkin karena saking banyaknya polusi udara ya. Beda kalau lagi mudik ke kampung, udaranya masih alami, segar dan bersih… Duuuh malah jadi kangen mudik, hehehehe…
Alhamdulillah saya sudah pakai pertamax sejak lama.
Kalau minimalisir naik kendaraan pribadi, rasanya belum bisa, masih tergantung motor. Tapi tenang, meski begitu, kan saya sudah pakai pertamax, jadi ya gak buruk-buruk amat asap knalpot dari motor saya, hahaha
Makasih sudah diingatkan kakak
Kami pakai Pertalite sih. Setahuku di pom bensin, Premium juga makin dikit pom bensinnya.
Belum terlalu perhatiin sih, lebih efisien mana Premium atau Pertalite. Tapi kata penelitian Pertalite engga merusak mesin…ya udah ikut Pertalite sih…