Kepercayaan menjadi tolak ukur pergaulan hidup adalah salah satu yang diajarkan oleh mendiang ayah saya tercinta. Ketika jiwa kita percaya akan perkataan seseorang dan kemudian akhirnya tindakan atau sikapnya tidak mencerminkan perkataannya tersebut, maka sejak saat itu kepercayaan sudah menguap.
Sebuah kasus nyata. Seorang mahasiswi yang seringkali mengadakan komunikasi dengan salah seorang staf pengajar di kampusnya. Sebut saja, Ima (nama samaran).
Ima adalah sosok gadis yang sangat lugu dan berasal dari keluarga yang memprihatinkan. Lahir di tengah keluarga yang harus hidup dengan penghasilan seorang buruh cuci rumah tangga. Sejak kecil Ima dibesarkan dengan kasih sayang meski materi sangat terbatas. Hingga ketika Ima beranjak remaja, Ima harus menanggung beban untuk mencari nafkah juga untuk kehidupan keluarganya. Semua berjalan dengan baik dan lancar hingga kemudian Ima harus melanjutkan sekolahnya di kota. Kota yang penuh dengan hiruk-pikuk ambisi dunia dan materi. Pergaulan juga semakin nampak bebas.
Ima kemudian masuk ke dalam gemerlapnya dunia kota metropolitan. Ima yang dulu kini bukan lagi Ima yang pemalu, pendiam dan tenang. Ima berubah menjadi gadis yang sok tahu, arogan bahkan memamerkan kecantikan dan kemolekan tubuhnya pada semua orang. Sejak saat itu Ima mulai menjadi orang yang merusak kepercayaan orang-orang terdekatnya.
Sebelum berpenampilan seronok seperti itu, Ima selalu saja berinteraksi dengan seorang pendidik di sekolahnya. Bahkan seringkali bercanda dan saling berbagi cerita. Hingga sang pendidik, Vony (nama samaran) memberikan kepercayaan penuh terhadap Ima. Segala sesuatu diceritakan Vony dan akhirnya Ima menjadi sosok pendengar setia dan pemberi motivasi juga kala itu.
Namun, selang beberapa waktu saat Vony harus berada jauh dari Ima, Ima menjadi sosok pengadu domba. Vony seringkali dibuatnya menangis karena memberikan cerita salah kepada orang lain. Ima bertindak seperti musang berbulu domba di depan Vony, padahal ketika Vony tidak ada, Ima seringkali menyebar fitnah kalau Vony begini dan begitu. Akhirnya Vony harus menerima kenyataan dipandang sinis dengan rekan-rekan kerjanya di sekolah. Dan apa sikap Ima dengan semua itu berhenti? Tidak. Terlalu banyak skenario jahat yang dilakukan Ima akan diri Vony.
Vony kemudian menghela nafas panjang dan mencoba menuliskan beberapa huruf dalam sebuah pesan singkat, SMS, kepada Ima. Bunyi SMS itu:
“Ima… Saya meminta maaf jika kemudian saya salah padamu. Saya hanya ingin mengatakan bahwa hari ini kepercayaan yang kuberikan padamu sudah menguap. Seperti embun yang ditelan teriknya sinar matahari. Berharap suatu saat kamu akan mengerti bahwa kepercayaan itu bukan materi dan ketenaran. Jika hari ini kamu masih seperti itu dan terus seperti itu, semut-pun akan enggan melihatmu. Aku kecewa atas nama rasa percaya dan kasihanku padamu.”
Sejak saat itu Vony sangat menyadari bahwa kepercayaan memang sebuah barang mahal. Jika ada tulisan yang bertajuk Kepercayaan itu Mahal. Memang benar adanya. Mahalnya sebuah kepercayaan harus dibayar dengan sirnanya sebuah image yang dimiliki Vony di tengah tempatnya bekerja. Bahkan karena ulah Ima, Vony harus menelan pahit kepercayaan itu dengan air mata dan menunggu nasib yang entah berkata apa pada beberapa tahun ke depan.
Menyesal? Ya, sangat menyesal. Rasa yang dialami Vony karena kepercayaan yang diberikannya ke Ima harus dibalas dengan pandangan sampah orang-orang terhadapnya. Kini Vony hanya mampu merenung dan menunggu mukjizatNya atas apa yang dilakukan Ima terhadapnya. Ima meluluh-lantahkan kepercayaannya untuk sebuah materi dan ketenaran. Setelah Ima kini memiliki materi dan ketenaran, apakah Ima bahagia dengan sejatinya bahagia?
Bertolak dari artikel “Kepercayaan itu Mahal” sudah sangat jelas bahwa rasa percaya kepada orang lain itu manusiawi. Siapapun boleh kita berikan kepercayaan. Namun, sebagai orang yang dipercaya, jangan sekali-kali merusak kepercayaan itu dengan mempertaruhkan hal-hal yang tidak sebanding nilainya, seperti materi dan ketenaran (seperti kasus Ima dan Vony).
Dipercaya seseorang bukanlah sebuah beban bahkan dengan kepercayaan yang diberikan orang lain akan menjadi pahala buat kita. Mengapa? Jika kita mampu amanah dengan kepercayaan tersebut tentu saja kita menjauhkan diri dari sifat yang dibenci Tuhan, yaitu munafik. Sebab ciri manusia munafik adalah ketika diberikan kepercayaan maka kemudian dikhianatinya.
Bergembiralah wahai jiwa yang masih menjunjung tinggi kepercayaan orang-orang yang memberikannya. Sebab mahalnya sebuah kepercayaan akan bernilai pahala yang harganya lebih mahal lagi ketika kita mampu menjaganya. Mari tetap semangat menjaga amanah orang lain dalam bentuk kepercayaan.