Sepenggal Kisah Mading Zaman SMA – Lagi dan lagi tema ODOP (One Day One Post) membawaku “terhempas” ke masa lalu. Masa dimana semuanya selalu tersimpan rapi dalam album kenangan. Setidaknya di kepala yang selalu saja menginginkan ketenangan. Dan kali ini saya harus mengusik kisah mading zaman SMA. Zaman SMP sih ada juga, tetapi yang lebih terkesan bagi saya adalah SMA.
Saat itu saya menjadi bagian dalam kepengurusan KIR (Kelompok Ilmiah Remaja). Namun, jabatan saya yang saat itu masih anggota karena masih duduk di bangku kelas I. Meskipun terjun di KIR, saya tidak pernah absen mengikuti ekstrakurikuler lain seperti menulis dan sejenisnya. Bahkan mengaji pun saya ikuti. Padahal sudah mengaji di masjid (dulu belum disebut sebagai TPA).
Kebiasaan saya menulis itu akhirnya diminta kakak senior untuk ikut mengurusi mading sekolah. Awalnya hanya diminta menulis satu rubrik yaitu puisi. Yap, saya memang suka puisi. Eits, jangan minta saya baca puisi sekarang ya, nanti Salfa bangun, hehe… Puisi yang saya tulis pun bukan puisi sekelas Chairil Anwar atau W.S Rendra. Puisi sederhana yang salah satunya pernah dimuat di surat kabar daerah. Sayangnya, surat kabar yang menyimpan kenangan itu hilang entah kemana. Saya yakin bapak atau ibu yang tidak sengaja membuangnya saat akan pindah ke rumah baru waktu itu.
Waktu berjalan terus hingga tak terasa sudah satu semester saya terus mengisi rubrik puisi. Bahkan lembaran-lembaran puisi yang sudah saya buat tersebut dibundel oleh kakak senior sebagai arsip. Hingga suatu ketika, salah satu kakak pengurus mading meminta saya untuk istirahat mengirimkan puisi. Saya digantikan oleh seseorang. Anehnya, namanya tak ingin disebutkan. Saya pun menerima saja. Tetapi hati saya mulai terusik (tepatnya baper) saat membaca puisi demi puisi oleh penulis yang baru. Saya yakin puisi tersebut adalah jawaban dari puisi saya selama ini. Yap, puisi saya memang selalu “bertanya” tentang rasa dan juga harapan.
Tiap hari saya selalu menunggu mading sekolah terbit, tepatnya menunggu puisi baru milik MZ. Ya, itulah inisial nama yang selalu tertera di bawah puisi tersebut. Saya menanyakan ke kakak senior, tetapi sekali lagi namanya dirahasiakan atas keinginan pribadi si penulis puisi.
Dan apakah saya tahu penulis yang mengisi rubrik puisi pada mading sekolah itu kemudian? Jawabannya “ya”. Dia adalah teman (pernah sekelas) saya sendiri. Setiap hari dia selalu memperhatikan keseharian saya. Suka? Tepatnya kagum. Karena saya tidak pernah berhenti terus menulis meskipun hati sedang tak nyaman apalagi pikiran yang dihantui oleh soal ujian. Dia sendiri bingung mau menulis darimana jika matanya sembab atau bahkan stress dengan nilai ujian yang tidak pernah sempurna. Beda dengan saya, katanya.
Ah, kenangan terusik kembali. Entah siapa yang harus bertanggung jawab akan hal ini. Pastinya, saya bahagia karena dia pun telah bahagia bersama anak dan istri. Kalaupun dulu dia punya rasa suka yang tak bisa terartikan sempurna, cukuplah Tuhan yang memberinya karunia dari bahagia bersama keluarganya.
Kalau kamu suka menulis puisi juga?
One Response
so swit mbak :”)
lah akunya malah nggak ada kenangan apa – apa sama mading sekolah, lah madingnya mati suri 😀