Bicara soal pasar, tidak lain tidak bukan akan terlintas dibenak berupa gambaran alotnya interaksi antara penjual dan pembeli. Pasar juga mengingatkan kita tentan situasi yang penuh sesak, hamparan beragam barang dagangan sandang dan pangan. Bahkan tidak jauh dari suasana becek dan kotor ketika musim hujan tiba. Meskipun begitu, tetap saja pasar menjadi tempat yang tidak pernah sepi dengan manusia.
Memang model pasar yang demikian adalah pasar tradisional. Sebab penjual dan pembeli bertemu langsung, lokasinya juga di area yang terbuka, harga barang dagangan bisa ditawar dan akan jatuh pada angka yang disepakati antara penjual dan pembeli serta harga relatif murah.
Meskipun sekarang sudah banyak bermunculan pasar modern, tetap saja pasar tradisional tidak pernah sepi dari pembeli. Apalagi jika menjelang hari raya, penjual dan pembeli tak pernah merasa takut bahkan risih berinteraksi di tepi-tepi jalan utama sehingga menimbulkan macet.
Pasar tradisional seperti ini tak akan pernah mati sebab tidak semua masyarakat mampu mengalokasikan dana (baca: belanja) ke pasar-pasar modern. Pasar tradisional bisa meng-cover seluruh lapisan masyarakat sehigga perkenomian akan terganggu jika kemudian ditiadakan dan berlaih secara menyeluruh ke pasar modern.
Saya sempat teringat kejadian tentang pasar saat masih berdomisili di Maros, Pasar Sentral Maros. Pasar ini sudah mengalami kebakaran lebih dari sekali (2001 an 2003). Kabarnya, kebakaran tersebut hanyalah sebuah rekayasa agar masyarakat sekitar bersedia pindah ke Pasar Induk Modern Bumi Salewangang. Tetapi, masyarakat sekitar tidak pernah jera akan kebakaran tersebut. Mereka berasumsi bahwa lokasi pasar tradisional yang baru tidak strategis dan akan menurunkan pendapatan. Begitupun dari pihak masyarakat yang berperan sebagai pembeli, akses ke lokasi yang baru cukup menambah biaya dan juga tidak senyaman di lokasi yang lama.
Hmmm… apapun argumen yang muncul, toh pasar tradisional tersebut masih saja di lokasi yang lama. Dan lokasi baru pun sampai saat ini belum ada tanda-tanda akan benar-benar dijadikan pasar. Hanya saja ruko-ruko di sekitar area tersebut sudah ramai dihuni oleh orang-orang yang sudah terlanjur mengambil alternatif memilih ruko sebagai hunian multifungsi.
Di Maros, tak hanya ada satu pasar tradisional. Berikut nama-nama pasar tradisional yang terkenal di Maros:
- Pasar Bulu’-Bulu’
- Pasar Batubassi
- Pasar Barandasi
- Pasar Batangase
- Pasar Mallawa
- Pasar Cenrana
- Pasar Simbang
Dan dari nama-nama pasar tersebut di atas, Pemerintah Kabupaten Maros sedang mencanangkan program renovasi. Salah satu contohnya Pasar Batangase yang sementara direnovasi tahun lalu, tahun 2014 ini sedang dilanjutkan proses pembangunannya. Tujuan dari renovasi pasar-pasar tersebut adalah kenyamanan warga dalam melakukan interaksi jual-beli. Di samping itu, memang ada beberapa pasar yang sejak berdiri belum pernah mengalami renovasi sedikitpun.
Saya sendiri jadi penasaran seperti apa rupa pasar-pasar tradisional Maros saat ini. Let we see, jika saya mudik sepertinya pasar menjadi list tambahan dalam agenda liburan. Bagaimana dengan pasar tradisional di kotamu?
6 Responses
aku kalo belanja di pasar tradisional setiap minggu mba.. sekalian belanja buat seminggu ke depan.. lebih enak sih. bisa dapat harga lebih murah. dan sayur2nya masih fresh
aku biasnaya ke pasar kaget, tradisional juga sih
Pasar tradisional ditempatku banyak yang di rehab agar lebih nyaman mbak
saya sempat berkunjung ke Maros tapi ga pernah singah di pasar itu..
Sayang banget kebakarannya rekayasa. Hiks. Pasar tradisional di tempatku juga masih rame, Mbak. Jadi pingin post juga. Hahaha
Saya senang belanja di pasar tradisional,atau hanya sekedar minum kopi,disalah satu kios di pasar..,sambil melihat aktivitas2x mereka (penjual dan pembeli).
Apalagi rumah saya dekat dg salah satu pasar tradisional,di Kabupaten Magelang. Namanya: PASAR SRATEN.
😊😊😊