Selamat Hari Guru Nasional untuk Cinta Pertamaku – Mungkin ini telat karena momennya harusnya kemarin. Tetapi, tak apalah. Saya pun menuliskannya insya Allah untuk dikenang sepanjang masa, cieee… Maklum, masih riweuh dengan bayi makanya baru bisa nulis sekarang.
Bicara soal guru, sebenarnya akan sangat panjang. Saya lahir di lingkungan guru. Mendiang Ayah saya adalah seorang guru bidang studi Bahasa Inggris, Kepala Sekolah di Sekolah Swasta (didirikan bersama 3 orang sahabatnya yang kini tinggal 1 orang yang hidup) dan juga Supervisor untuk bidang studi tersebut di tingkat Sulawesi Selatan. Betapa bangganya saya punya Ayah sehebat beliau. Meskipun bagi saya pribadi, beliau terlalu cepat pergi menghadap kekasihnya pada 13 Oktober 2010 lalu.
Saya masih ingat betul bagaimana perjuangannya membuat saya bisa bahasa asing. Semuanya dimulai saat saya sudah bisa membaca dan menulis. Sedikit demi sedikit, Ayah sering memperdengarkan telingaku dengan kosakata bahasa Inggris. Mulai dari hal kecil, sekitar tubuh, lalu yang ada di kamar, di rumah, di sekolah dan sampai pada lingkungan yang lebih luas. Andai saya waktu itu memiliki inisiatif menyimpan recorder kesayangannya. Alat rekam yang selalu dipegang saat saya bercengkerama dengannya. Suaraku direkam yang tujuannya agar saya semakin bersemangat. Begitu seterusnya sampai saya pun duduk di bangku SD Kelas VI.
SD Kelas VI, saya sudah bisa membuat kalimat. Ya, saya akui kalau Ayah memang gigih dan begitu antusias menurunkan ilmunya kepada saya. Bahkan saya pernah marah karena hanya saya diperlakukan demikian. Kedua adik saya yang keduanya laki-laki sama sekali tidak ada perlakuan demikian, begitupun dengan adik yang bungsu perempuan. Semua bebas dari pembelajaran bahasa Inggris yang menurut kacamata saya waktu itu sedikit mengekang.
Hal yang paling tidak bisa saya lupakan adalah tidak diberi izin menyantap makan malam, jika satu kalimat tense tertentu (misalnya past tense) belum saya ubah ke semua bentuk tense yang ada. Berapa jumlah tense dalam bahasa Inggris, sejumlah itu pula saya harus menuliskannya. Dan saya masih kelas VI SD saat itu. Latihan itu ternyata memudahkan saya di bangku SMP, SMA hingga kuliah. Saya pun mengikuti jejaknya yang fokus pada speech daripada debate. Ah, begitu manis untuk saya lupakan…
***
Kenangan-kenangan itu akan selalu terusik, apalagi di #HariGuruNasional yang tiap tahun diperingati. Di hari ini pula saya pun terusik akan satu hal, yaitu tak mampu mewujudkan harapan Ayah agar menjadi wanita berprofesi sebagai guru di universitas. Menembus PNS bagi saya sulit setelah mencobanya hingga 3 kali. Meskipun sebenarnya ada saja jalan tetapi memakai cara yang saya yakin Ayah pasti tidak suka juga (baca: KKN). Apalagi Ayah sampai bersusah-payah menyekolahkan saya sampai Magister.
Mungkin Tuhan punya takdirNya sendiri untuk saya. Ilmu yang selama ini kuterima dari Ayah tetap terpakai dan insya Allah menjadi amal jariyah. Jika tak saya ajarkan pada sekelompok manusia pencari ilmu di ruang kelas, setidaknya ada cucu Ayah yang masih memiliki harapan untuk mewujudkannya di masa depan. Kelak anak saya saja yang mewujudkan harapan kakeknya, meskipun tak tahu masa depan akan berkata apa. Sebagai orang tua, khususnya Ibu hanya bisa memberikan yang terbaik untuk mencapai cita-cita.
Selamat #HariGuruNasional buat Ayah, cinta pertama yang tak pernah mati di dalam hati ini. Semoga kita berjumpa di surga bersama orang-orang penuntut ilmu lainnya…
One Response
Wah berarti ayahnda seorang prioner ya mbak. Al Fatihah untuk beliau.