Beberapa waktu lalu, keluarga saya datang dari pulau seberang. Mereka datang kebetulan lengkap sekeluarga, yaitu Bapak, Ibu dan dua orang anak. Bahagia tentu saja karena sudah sangat lama tak bertemu. Selama bersama mereka, banyak hal yang saya pelajari. Dan pelajaran yang bisa saya ambil dari kedatangan mereka adalah masalah finansial.
Ya, anak dari saudara saya ternyata memiliki kebiasaan yang boleh dibilang kurang baik. Perilaku konsumtif menjadikan sang anak kemudian dengan leluasanya meminta mainan ini itu. Hari ini membeli mainan A, besok mainan B, besok lusa mainan C dan seterusnya seperti itu. Padahal mainan yang baru saja dibelinya masih sangat bagus kondisinya. Tetapi, sikapnya itu kemudian seolah menjadi “permakluman” bagi kedua orang tuanya. Sehingga selalu dituruti keinginan sang anak untuk membeli mainan setiap hari.
Nasib baik orang tuanya berada, alias finansial mereka tidak terganggu jika menuruti keinginan sang anak. Tetapi itu bukan menjadi alasan sehingga sang anak termanjakan oleh perilaku demikian. Kelak dewasa akan menimbulkan masalah, yaitu sang anak akan hidup boros. Untuk itu edukasi finansial sangat berperan dalam mendidik anak untuk mengelola keuangan.
Karena anak saya masih usia bayi (saat ini 3 bulan), saya kemudian membekali diri dengan edukasi finansial yang nantinya akan saya terapkan ketika usianya sudah memungkinkan. Saya bukan takut kalau rezeki Tuhan tidak menghampiri saya. Tidak. Sungguh saya malah sangat yakin rezeki saya dan keluarga sudah diatur sedemikian rupa. Atas rezeki itulah saya pun mengucapkan syukur dengan cara mengelolanya dengan baik. Tak hanya saya dan suami saja, anak kami pun harus memahami hal tersebut.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Bapak Bagoes Sanyoto, Konsultan Pendidikan Psikolog dan Harmoni Keluarga, dalam sebuah buletin keluarga bahwa mengatur keuangan berhubungan dengan penanaman pendidikan dari awal. Jika orang tua tidak mendidik anak sejak dini, bisa gagal dalam mengatur keuangan di masa depannya.
Berangkat dari argumen itu, anak akan saya ajarkan bagaimana menentukan skala prioritas, sebagaimana yang telah saya terapkan juga pada diri dan rumah tangga saya sebelumnya. Dengan skala prioritas, saya ingin si anak mengerti dan mampu membedakan apa-apa saja yang menjadi kebutuhan dan mana saja yang hanya sebatas keinginan. Saya pun kelak tidak akan dengan mudah menuruti semua keinginan sebab tidak semua keinginan anak harus dipenuhi.
Anak harus saya bekali pengetahuan tentang bagaimana mendapatkan uang dan bagaimana pula cara membelanjakannya. Visi ekonomi yang tinggi dan kuat akan mencegah anak dari perilaku boros. Anak dilatih untuk mengenal tentang dirinya sendiri, yaitu usia, jenis kelamin dan dengan begitu akan tercipta sendiri pemikiran akan kebutuhannya. Dengan mengetahui siapa dirinya (usia, jenis kelamin) maka si anak akan tahu kebutuhan apa saja yang perlu ada saat itu. Dan jika uang yang dimiliki berlebih, menabung dan beramal juga harus diterapkan.
Menabung akan mengajak anak berpikir bahwa hidup di masa mendatang tidak pernah diketahui bagaimana keadaannya. Bisa saja keuangan berlebih atau sebaliknya. Jika menabung, simpanan tersebut bisa menjadi alat tetap survive dalam kondisi eknomi yang buruk misalnya. Menabung juga melatih anak untuk berusaha sedemikian rupa sebelum mendapatkan apa yang diinginkan. Misalnya, si anak ingin membeli es krim dengan harga 1000 rupiah. Maka anak harus mengumpulkan uang hingga mencapai angka tersebut untuk mendapatkan keinginannya. Secara tidak langsung anak bisa merasakan perjuangan orang tuanya dalam mengumpulkan/mengatur keuangan untuk mewujudkan segala kebutuhannya.
Salah satu langkah nyata yang sedang saya lakukan saat ini adalah mengumpulkan uang receh pecahan 200, 500 dan 1000 rupiah dalam sebuah botol atau penyimpanan unik (selain celengan) sebagai bentuk anti mainstream. Ada di botol minum yang tidak terpakai, ada juga yang menggunakan kaleng bekas tempat cokelat. Kaleng cokelat sengaja saya gunakan sebagai daya tarik tersendiri, yaitu setelah membeli cokelat sesuai keinginan maka uang yang dikeluarkan untuk membeli harus diganti dengan menabung lagi di kaleng tersebut. Jadi tak hanya enak cokelatnya saja yang dirasakan si anak, tetapi juga perjuangan untuk menyisihkan uang perlu dirasakan. Nanti setelah kaleng penuh bisa dihitung dan memberikan izin untuk membeli cokelat lagi asalkan siklus tersebut tetap berjalan.
Selain menabung, anak diajarkan juga beramal. Anak perlu dipahamkan bahwa setiap uang yang dimiliki, di dalamnya juga ada hak orang yang tidak mampu. Dengan begitu, tak hanya mendidik anak dalam hal pengelolaan keuangan tetapi juga sikap peka terhadap orang-orang yang kurang beruntung disekitarnya.
Dan ada satu langkah menarik dalam edukasi finansial yang terlihat sederhana namun mampu mendidik dengan halus, yaitu mengurangi waktu menonton televisi untuk anak. Lho, apa hubungannya nonton televisi dengan edukasi finansial? Tentu saja ada. Jika waktu menonton televisi dikurangi, maka waktu atau kesempatan anak untuk melihat iklan yang bertebaran pun akan semakin sedikit. Sebab, usia anak-anak selalu menginginkan apa yang dilihatnya. Jika membatasi tontontan yang mau tidak mau iklan menjadi hiasannya, anak tidak akan punya sesuatu yang ingin dibeli. Kemudian diberikan pengertian sedikit demi sedikit tentang bagaimana proses sebuah iklan itu tercipta pada sebuah produk. Otomatis trik-trik yang dipakai dalam iklan membuat anak berpikir lebih baik lagi sebelum memutuskan untuk membeli.
Saya sangat berharap kelak anak saya mampu menjalani edukasi finansial yang saya tawarkan. Semua tidak lain dan tidak bukan hanyalah untuk masa depannya yang lebih baik. Planning edukasi finansial ini lahir karena banyak membaca di internet tentang keuangan ala Sun Life, belajar dari pola hidup keluarga besar saya dan teman-teman saya. Sebab memang paling mudah belajar langsung dari apa yang kita lihat sendiri dan menyandingkannya dengan teori yang ada.
Tulisan ini diikutsertakan dalam Sun Anugerah Caraka Kompetisi Menulis Blog 2014
Pilihan sub-tema: Edukasi Finansial Sejak Dini
One Response
Mantep banget mbak planningnya, penting juga tuh ngajarin anak manajemen keuangan sendiri. kita ajari mereka untuk mandiri dan berani bertanggungjwab atas apa yang dia kelola