Napak Tilas Mudik – Sudah masuk hari kelima pasca lebaran, suasana di rumah mertua masih saja ramai. Pasalnya, saya masih belum balik ke Surabaya karena suami masih betah merasakan suasana kampung halamannya. Meskipun terbilang dekat dari Surabaya, tetap saja waktu untuk pulang setiap bulan sekarang ini jarang sekali terpenuhi. Entah kesibukan pekerjaan atau ada saja hal yang menghalangi.
Mudik memang menyisakan banyak cerita. Mulai dari persiapan hingga kemudian menjalani arus balik. Kebetulan sekali tahun ini nyaris tak ada cerita unik selain kisah anak kami yang mulai memahami suasana lebaran.
Perjalanan Mudik yang Lancar
Mungkin kami bukan termasuk dari salah satu pemudik yang mengalami kemacetan luar biasa saat melakukan perjalanan mudik. Bahkan dengan adanya tol baru, jarak tempuh Surabaya – Kertosono hanya memakan waktu kurang lebih satu setengah jam saja. Hal ini kemudian yang membuat saya tercengang sendiri. Padahal di rumah sudah membayangkan bagaimana kondisi anak kami yang akan berlama-lama di jalan karena macet. Apalagi kami melakukan perjalanan mudik H-4 Lebaran.
Memang biaya yang kami keluarkan terbilang mahal untuk tol, tetapi worth it untuk ukuran perjalanan jauh. Lengang bahkan terkesan jalan seperti milik sendiri.
Namun, cerita lancar perjalanan kami tidak dirasakan sebagian besar orang yang ternyata melakukan perjalanan mudik pada H-2 dan H-1. Macet mengular berjam-jam ternyata harus terpaksa dialami yang bisa terlihat dari perempatan lampu merah Kertosono (jalan poros Jogja).
Silaturahim dengan Saudara
Tahun ini lebih banyak menanti saudara yang datang ke rumah mertua. Tak hanya karena ibu mertua saya anak pertama dari 9 bersaudara, tetapi juga ibu mertua yang sudah tak kuat untuk jalan kesana kemari. Kondisi beliau yang sudah tak seprima waktu bapak mertua ada dulu, kemudian membuat saudara-saudaranya lebih memilih yang mendatangi.
Kalaupun ibu mertua ikut unjung-unjung ke rumah Mbah (ibu dari ibu mertua sendiri alias nenek kami), itu karena lokasinya sangat dekat. Kami cukup berjalan kaki (bagi yang sehat) sementara ibu mertua perlu menggunakan kendaraan (bukan motor).
Ada banyak senda gurau yang terdengar. Mulai dari gelak tawa saat ada yang menerima “salam tempel” hingga kemudian cerita dari pengalaman puasa plus kisah sedih karena membahas salah satu saudara yang sudah lebih dahulu meninggal dunia.
Godaan Menu Kampung Halaman
Seperti biasa, ibu mertua selalu memasak Sambel Tumpang Pecel di kala hari raya tiba. Menu andalan yang jujur saja lebih enak dimasak sama mertua dibanding beli ke warung. Haha, ini bukan karena saya sok memuji mertua lho ya. Memang seperti itulah rasanya.
Namun, menu yang ditawarkan ini hampir semua berbahan dasar kacang. Godaan yang selalu menjadi perhatian agar tidak terlalu larut. Sebab, saya khawatir setelah pulang ke Surabaya justru efeknya malah ke asam urat, haha.
Betah dan Sulit Move On
Apalah daya setelah lama tidak pulang, mudik kali ini membuat kami merasakan betah berlama-lama. Mumpung belum ada pekerjaan yang perlu diselesaikan, tetapi juga masih ada saudara yang belum balik ke rumahnya. Jadi masih ada alasan untuk tetap di sini. Entah kapan kami akan melakukan arus balik, tetapi yang pastinya pekan depan sudah harus move on dan stay di Surabaya lagi.
Well… seperti inilah napak tilas mudik tahun ini di Kertosono. Tahun depan entah kami harus kemana lagi. Pastinya, saya selalu rindu untuk mengenalkan Salfa pada keluarga besar. Terlepas dari pertanyaan yang akan selalu dipertanyakan saat kumpul keluarga besar, saya masih ingin Salfa memahami bahwa keluarga besar itu ada dan perlu dijaga keharmonisannya.
2 Responses
selamat mudik bunda.. 🙂
selamat kembali juga, udah ujung liburan nih.. hehe
paling enak jika kampung suami/istri menjadi satu.. sekali mudik, 2 rumah terlampaui, hehehe
memang kalau mudik sudah pinginnya mager terus. oh ya, BTW makanan khas kertosono apa saja mbak? selain kacang kacangan yang tertulis di blog mbak.
makasih, salama kenal