Marah yang Mendidik itu adalah salah satu bentuk sikap ketidaksenangan terhadap sesuatu namun tetap dilakukan dengan cara yang bijak dan ada manfaatnya. Membaca kisah Tiada Hari Selain Senen seakan menghentakkan diri saya pribadi.

I Love Monday   ” Kamu itu kerjanya ga’ becus banget sih…!!! Bodoh banget… Urusan kecil gini aja salah…”

Kalimat itu seringkali terdengar ketika seorang pemimpin perusahaan mendapati pekerjaan bawahannya tidak sesuai dengan keinginannya. Marah dan menghardik bawahan, itulah karakter pemimpin kebanyakan. Tidak hanya di perusahaan besar, di perusahaan kecil dan menengah juga terkadang menjadi sosok yang ditakutkan karena keseringan marah.

Selain itu, ada juga karakter pemimpin yang tidak pagi, siang dan sore kerjaannya memang selalu marah. Entah di dalam keluarganya terjadi apa sehingga tiada waktu selain marah. Padahal sebagai orang yang berada di sekitar pemimpin yang demikian itu sudah melakukan hal yang maksimal. Bahkan tidak jarang meski bawahan sudah benar, pemimpin masih saja mencari sebab agar “hobi marah” tetap terlaksana. Aneh memang!

Melihat dan memahami kondisi tersebut, saya sendiri yang pernah mengalami kegalauan seorang pemimpin dengan sifatnya yang suka marah justru terkadang menganggapnya sudah biasa. Telinga sudah kebal dengan omelan sang pemimpin jika setiap hari harus marah. Sebagai bawahan yaa mau gimana lagi kalau tidak bersabar??? Iya, kan??? Yang penting setiap hari masuk kerja, kerjakan pekerjaan dan maksimal dan gaji tetap dibayarkan. Simple saja bagi saya. Namun, ada kala memang jika hati dan pikiran akan sesak dengan sifat tersebut. Semua kembali lagi pada karakter pribadi seseorang yang berada di posisi bawahan. Harus siap mental dan mampu bekerja di bawah tekanan.

Jika menjadi pemimpin sebaiknya menggunakan marah untuk mendidik orang-orang yang dipimpinnya. Dalam keluarga saja tidak semua memiliki visi dan misi yang sama, sehingga terkadang ada perselisihan antara sesama anggota keluarga, padahal satu darah. Bagaimana dengan kantor, sekolahan atau perusahaan yang orang di dalamnya berasal dari sumber yang berbeda dan dengan visi misi yang  juga tidak sama. Justru akan sangat kompleks.

Bawahan melakukan kesalahan itu adalah sesuatu yang wajar saja sebagai manusia dan sudah selayaknya kesalahan itu diperbaiki untuk kemajuan bersama. Jika mendapati kesalahan bawahan sebaiknya pemimpin melakukan pendekatan agar sang bawahan merasa nyaman bekerja. Marah dialokasikan pada hal-hal yang bermanfaat sehingga sang bawahan juga semakin terenyuh hatinya untuk kembali dan berusaha dengan keras memperbaiki kesalahannya. Misalnya, memberikan contoh yang benar, mempertanyakan kondisi bawahan saat mengerjakan tugas yang diberikan agar pemimpin tahu akar dari kesalahan sang bawahan dan masih banyak cara lain. Alangkah indahnya jika hal itu terjadi.

Pemimpin marah bukan menunjukkan bahwa dirinya wibawa akan tetapi justru menunjukkan bahwa sejatinya pemimpin itu adalah orang terbodoh yang tak mampu mengendalikan hawa nafsunya untuk urusan dunia saja. Semoga banyak pemimpin yang tidak demikian, menyelesaikan persoalan dengan marah.

Artikel  ini untuk menanggapi artikel BlogCamp berjudul Tiada Hari Selain Senen tanggal 25 Juni 2012

Marah yang Mendidik

Facebook
Twitter

Related Posts

2 Responses

  1. Kewibawaan bukan dihasiilkan oleh kemarahan ya nduk tetapi oleh integritas, profesionalitas dan moralitas yang yahuud.
    Salam hangat dari Surabaya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *