Ketika Bertemu dengan Inner Child, Ini yang Harus Saya Lakukan! sepertinya penting untuk saya tuliskan di sini. Tidak hanya untuk memenuhi kewajiban sebagai ODOPers, tetapi ada harapan yang membacanya bisa sama-sama memahami bahwa kehadiran inner child itu memang harus diakui. Bukan dihindari. Butuh dirangkul untuk ditemani.
Flashback Sejenak
Rasanya ini sudah bertahun-tahun saya struggling dengan yang namanya inner child, sebuah tahapan yang menjadi salah satu penyebab terkadang kondisi saya tidak baik-baik saja. Apalagi saat ini saya sudah berkeluarga yang menuntut peran sebagai orang tua jauh lebih baik agar menjadi teladan anak-anak pastinya.
Nyatanya, pertemuan dengan inner child membuat saya tidak semudah itu menjalani kehidupan sebagai istri dan ibu. Hal itu baru saya sadari ketika di awal menikah ada perilaku yang tampak dan kurang nyaman bagi pasangan. Faktanya, ada luka pengasuhan di masa lalu yang mempengaruhi.
Perilaku seperti apa itu? Hmm, tidak perlu dijelaskan dengan rinci. Semua itu sangat menyulitkan ketika menjalani kehidupan dan di sini saya harus membasuh luka pengasuhan itu dan mencari sosok anak kecil dalam diri saya yang terluka untuk dirangkul.
Mengajak “Si Kecil yang Terluka” dan Merangkulnya
Ternyata inner child yang terluka mendominasi dalam diri saya sehingga memang harus diobati dan diselesaikan dengan baik. Ketika menemukan benturan dalam kehidupan pernikahan, semuanya tampak membingungkan dan sangat berat untuk dilalui. Di satu sisi ingin terus bahagia dengan kondisi pernikahan yang menurut orang lain itu sumber bahagia, realitanya banyak hal yang harus diperbaiki.
Mengapa ada “si kecil yang terluka” di masa lalu? Jawabannya adalah ada hal yang diterima anak-anak terluka batin diasuh oleh sosok orang tua yang anger management juga tidak baik-baik saja. Ya, anger management ini adalah manajemen diri ketika sedang dalam kondisi marah. Bukan berarti tidak boleh marah atau dipendam, tidak. Justru emosi marah itu perlu dikendalikan sehingga keluarnya tidak melukai orang-orang di sekitarnya, khususnya anak.
Nah, anak yang kemudian mendapatkan anger management yang buruk dari orang tua otomatis memberikan luka pengasuhan tersendiri. Dan tidak semua orang tua menyadari hal ini. Untuk itu, ketika menyadari sudah bertemu dengan inner child yang di masa lalu mendapatkan luka itu, bukan semata-mata menyalahkan orang tua tetapi segera memproses diri untuk mengubah kepribadian dengan menjalin kehangatan pada diri sendiri.
Di sinilah muncul kemudian istilah “orang tua durhaka” karena memberikan kekosongan dari sisi kelembutan, kasih sayang bahkan melakukan pelampiasan emosi sehingga melukai. Ya, tidak hanya ada “anak durhaka” karena orang tua pun bisa mendapatkan predikat itu karena tidak memberikan pola asuh yang baik, salah satunya tidak memberikan perhatian dengan bahasa cinta yang seharusnya.
Ketika diri sendiri tidak mampu mengubah sikap pastinya tidak akan bisa merangkul dan akan terus menyalahkan masa lalu (bisa saja orang tua dan lingkungan). Sampai kapan pun tidak akan pernah selesai ketika tidak mengubah thinking, feeling dan acting menjadi lebih positif. Jadi, memang lebih penting ketika mengubah respon diri, terkait pikiran, perasaan dan tingkah laku akan takdir yang memang sudah harus terjadi.
Intinya, setiap kita harus menyadari bahwa inner child itu ada dengan beberapa level, seperti kata Bu Diah Mahmudah, psikolog yang sudah membahas Inner Child dengan solusi Membasuh Luka Pengasuhan. Jadi, ketika bertemu dengan inner child maka harus:
- Segera keluar dari Zona Mental Korban, dalam hal ini menjalankan self healing therapy jika dirasakan bahwa inner child yang hadir memang sosok yang terluka sehingga sekuritas dan kenyamanannya merasa terganggu
- Memaafkan dengan The Power of Forgiveness karena ini salah satu bentuk mensucikan jiwa dari rentetan penyakit hati. Dan kita tahu sendiri kalau dalam Islam sebaiknya penyakit hati itu tidak ada untuk lebih tenang dan damai dalam menjalankan hidup
- Manajemen Emosi, khususnya Anger Management sehingga ketika mendapati diri sedang emosi marah, bisa dikelola dengan baik dan cepat stabil kembali
Pentingnya Trilogy Positive Parenting
“Berhenti menyalahkan. Berdamai. Maafkan. Biarkan semesta yang mengatur semuanya.”
Kalimat itu yang selalu terngiang di telinga karena pasangan saya sangat menyadari bagaiman pengasuhan di masa lalu sangat berdampak pada pengasuhan saat ini. Namun, mengubah memang membutuhkan waktu dan latihan serta support system yang baik. Nah, perjalanan kami dalam pernikahan yang sesekali diberi hambatan atau benturan kehidupan perlahan-lahan menguak bahwa memang perlu ada perbaikan dari sisi masing-masing.
Tidak semata-mata menyalahkan masa lalu tetapi mencari solusi agar hubungan pernikahan tetap berjalan baik, pengasuhan anak berjalan sebagaimana serta memperbaiki sikap dalam pendidikan agar kesehatan mental keluarga tetap terjaga. Peran orang tua memang sangat besar untuk terus membangkitkan sisi bahagia saja dalam pengasuhannya.
Saya mendengar bahwa konsep Trilogy Positive Parenting ini bisa menjadi jalan untuk membasuh luka pengasuhan sehingga konsep menerima dan menyikapi takdir kehidupan jauh dari menyalahkan masa lalu yang tidak sesuai dengan harapan.
***
Well, inner child ada pada setiap orang. Semua tergantung dari keputusan kita untuk terus bertengkar dan menyalahkan keberadaannya sehingga kondisi makin memburuk atau mengajak diri untuk lebih mindfullness dengan memaafkan dan selesai dengan masa lalu, dalam hal ini inner child.
Yuk, katakan dengan lantang bahwa kita bahagia dan berdamai dengan inner child jika di masa lalu mengalami luka pengasuhan. BISA!