Ruh dicabut. Nafas terhenti. Tubuh terbujur kaku. Berselimut kafan. Meninggalkan semua apa yang telah “dipinjamkan” sang Maha Kaya. Kematian pasti akan datang.
Jum’at kemarin ini kembali mengingatkan saya pada kejadian lebih kurang 2 tahun lalu. Saat sang Maha Memiliki memanggil kembali sosok Ayah, kakek dan nenek dalam keluarga kami dalam waktu yang hanya berselang beberapa hari saja.
Dan media elektronik, dunia maya serta media cetak sedang terfokus pada kematian sosok Ustadz Jefri. Semakin kembali mengantarkan masa dimana kematian memang cenderung sesuatu yang memaksa hati untuk bersedih. Meskipun sejatinya, kematian menjadi sesuatu yang diyakini kedatangannya.
Sebenarnya, tak ada kejutan atau surprise dalam sebuah takdir yang bernama kematian. Kehadirannya sudah menjadi sebuah keniscayaan dimana ruh akan kembali pada pemiliknya, Allah Azza Wa Jalla. Tak bisa diundur atau ditawar bahkan bagi seorang yang penting sekali pun. Tak melihat manusia itu sedang tidur, berkendara, beribadah atau aktivitas lainnya. Jika sudah waktunya maka kematian itu datang tanpa permisi.
Sedih. Sakit. Iya, benar. Itulah fitrah manusia yang diberi kemampuan untuk merasakan kepedihan. Apalagi jika kematian tersebut datang pada salah orang tercinta dan terkasih. Belum lagi jika sosok tersebut memberikan manfaat serta nilai tersendiri dalam kehidupan. Tetapi inilah kehendak-Nya. Ada hidup ada mati.
Allah sudah berfirman dalam Al Qur’an:
“Dan setiap ummat mempunyai ajal (batas waktu). Apabila ajalnya tiba, mereka tidak dapat meminta penundaan atau percepatan sesaat pun”. (QS. Al- A’raf : 34).
“… Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Luqman : 34)
“Katakanlah: Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”. (QS. Al-Jumu’ah : 8)
“Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendati pun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh, dan jika mereka memperoleh kebaikan, mereka mengatakan: “Ini adalah dari sisi Allah”, dan kalau mereka ditimpa sesuatu bencana mereka mengatakan: “Ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad)”. Katakanlah: “Semuanya (datang) dari sisi Allah”. Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikit pun?” (QS. An-Nisa : 78)
Asbab kematian seseorang seringkali menjadi pemicu untuk berburuk sangka, menyalahkan keadaan dan kondisi. Padahal sejatinya semua sudah diatur. Tak berguna kalimat seandainya begini, seandainya begitu… mungkin karena itu, mungkin karena ini… dan beberapa ungkapan kalimat lain yang seolah menyiratkan ketidakikhlasan akan kehendak-Nya. Sebab di Lauhul Mahfuz semua sudah tertulis tentang semua yang akan terjadi pada diri makhluk hidup ciptaan-Nya. Bahkan daun-daun kering yang jatuh berguguran di sudut bumi mana pun, semua atas izin dan kehendak-Nya.
Firman-Nya ditulis dalam kitab suci ummat Islam. Sudah memberikan peringatan kepada yang hidup bahwa kematian itu pasti. Lantas pertanyaan selanjutnya, siapkah menghadapinya? Sudah cukupkah bekal ketika malaikat maut menjemput? Jawabannya ada pada diri masing-masing. Satu yang diharapkan ketika ajal menjemput yaitu husnul khatimah, Insya Allah.