Kakek Penjual Mainan Keong – Setiap kali berjalan menuju ke salah satu minimarket ternama di dekat rumah, sesering itu pula saya melihat kakek yang berjualan mainan yang terbuat dari keong. Tetapi, sayang sekali karena saya tidak bisa membeli setiap kali saya melihatnya. Meskipun saya tahu harganya sangat murah.
Kok bisa begitu? Alasannya adalah mendidik anak saya juga untuk tidak dengan mudah mengeluarkan uang. Ya, beberapa bulan terakhir saya sedang berusaha untuk mendisplinkan anak untuk cerdas finansial. Walaupun tidak semudah membalikkan telapak tangan. Perjuangannya sangat panjang. Pastinya bergelut dengan peluh, emosi dan intonasi suara, haha.
Back to Kake Penjual Mainan Keong…
Saya terharu bahkan tidak habis pikir bagaimana tubuh yang ringkih tetap kuat memikul beban mainan keong yang hampir memenuhi sisi kanan dan kiri gerobaknya. Pun bukan gerobak yang didorong ke depan, tetapi dipikul di pundak. Hmm… pasti bisa lah ya membayangkannya. Dan itu dilakukan setiap hari, lewat di depan rumah lalu nongkrong di depan minimarket.
Setiap kali ada yang lewat di depannya, maka mainan keong dibunyikan suaranya sebagaimana mainan tersebut difungsikan. Otomatis mata akan tertuju ke sudut dimana suara mainan itu datang dan melihat posisi tubuh kakek tersebut duduk di tengah. Kadang jongkok, bersila kadang juga berdiri. Tak ada kursi untuk duduk sambil menunggu mainannya laris satu demi satu. Seberapa lama tempat itu nyaman, maka selama itu juga kakek berada di situ sambil berharap ada yang mampir dan membeli.
Saya pernah membeli mainan keong tersebut hanya sekadar iba semata. Toh saya tahu anak saya nggak bakalan bisa diinfo untuk tidak memainkan mainan keong tersebut dengan lembut. Meskipun anak balita, terkadang kekuatan mereka justru lebih super. Dan mainan yang saya beli tersebut akhirnya saya simpan bahkan seringnya diberikan ke anak lain yang usianya di atas anak saya. Setidaknya mereka sudah paham bagaimana menggunakannya. Bahkan kadang saya berikan ke tukang becak yang mangkal di depan rumah untuk cucunya.
Sesekali ketika melihat sosoknya dari dalam minimarket, saya bergumam sendiri: “Anak-anaknya ke mana ya? Kok tega membiarkan ayahnya yang sudah tua nan ringkih tetap berjalan menjajakan mainan keong. Terik matahari dan hujan menjadi hal yang taka sing ketika menyusuri jalan-jalan kecil di Surabaya.
Tetapi, kembali lagi saya menata pikiran: “Mungkin saja kakek ini tidak punya keluarga di Surabaya.” Atau “Bisa jadi kakek tua ini justru jadi penopang keluarganya sehingga mau nggak mau harus rela menjalani kehiduapan sebagai penjual mainan keong.” Dan beberapa argumen penguat hati saya untuk menyemangati diri. Sebab, saya pernah menitikkan air mata sembari jalan pulang dari minimarket karena tidak membayangkan betapa letihnya kakek tersebut. Belum lagi persoalan harga mainan yang tidak seberapa. Iya kalau laku, kalau hari itu rezekinya belum ada yang laku? Duh, mewek pastinya say ajika membayangkan…
Well… dari kakek tersebut saya kembali bertanya pada diri sendiri. Sudah seberapa syukur dengan kehidupan yang saya jalani sekarang. Karena tidak bisa saya pungkiri, terkadang mengeluh akan hidup yang begini-begini saja akan membuat saya malah kufur nikmat. Dan saya tidak ingin adzab-Nya datang karena saya seolah tidak menerima keadaan. Kakek… thank you, I learn!