Cerianya Lebaran hingga Bali Jadi Kenangan – Lebaran dan Bali kalau disandingkan semacam rujak buah kata suami. Manis-manis asem tetapi segar di lidah. Perumpamaan yang menggambarkan manisnya silaturahim kemudian dicampur dengan asemnya perjalanan jauh yang ditempuh untuk sebuah destinasi indah di bumi Indonesia.
H-4 Lebaran 1437 H
Saat menjelang lebaran tahun ini, tepatnya H-4, kami masih saja disibukkan dengan orderan undangan pernikahan yang tak kunjung reda. Padahal kami masih ingat tahun lalu di H-7 lebaran 1436 H, kami sudah packing dan menutup orderan undangan pernikahan sampai kepulangan kami kembali dari mudik lebaran di Makassar (Maros). Tetapi tahun ini, H-7 orderan belum kami closed karena permintaan yang memang lebih banyak dan deadline dari kebanyakan customer adalah dua bulan setelah lebaran. Setidaknya kami punya harapan dan “tabungan masa depan” lagi dengan orderan tersebut.
Hingga kami pun hampir saja tidak bisa mudik ke kampung halaman suami (baca: Kertosono) karena agen perjalanan kebanyakan full seat untuk jadwal yang kami inginkan, yaitu pulang di waktu sore (Ba’da Ashar). Mengapa tidak naik bus? Alasannya sederhana, H-4 lebaran akan sangat riskan untuk mudik bersama bayi dengan moda transportasi tersebut. Desak-desakan dengan penumpang lain membuat kami urungkan niat. Kasihan si Salfa, anak kami.
Saya pun langsung teringat peristiwa beberapa tahun lalu, saat kami masih jadi pengantin baru (tahun 2012). Karena sibuk mengumpulkan receh demi receh untuk jadi angpau lebaran, maka kami memilih mudik ke Kertosono H-2 lebaran waktu itu. Hasilnya? Kami tidak mendapatkan bus seat dan harus rela lelah dua kali lipat karena pulang menggunakan motor, itupun motor pinjaman teman blogger yang tidak melakukan ritual mudik.
Mengingat hal itu, saya dan suami langsung banyak-banyak istighfar dan mohon bantuan Allah agar dimudahkan mendapatkan solusi mudik. Dan kekuatan doa benar-benar terjadi. Pada H-2 lebaran tahun ini, kami mendapatkan seat untuk dua orang (anak dipangku) dengan harga yang jika dihitung menggunakan tarif bus hanya selisih sedikit. Itupun sudah mendapatkan fasilitas diantar sampai depan rumah dan duduk tidak berdesak-desakan. Kalau naik bus, kami harus berhenti di bangjo (sebutan untuk traffic light a.k.a lampu merah) dan berjalan lebih kurang 200 meter.
H-1 hingga H+2 Lebaran 1436H
Suka cita menyambut hari raya pun tidak terbendung. Tahun ini bisa bertemu lagi dengan akhir Ramadhan dan berkumpul bersama keluarga. Anggota keluarga dari suami pun masih sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Kami masih diberi kesehatan dan kesempatan untuk bertemu di hari raya. Dan tahun ini juga adalah tahun pertama Salfa yang sudah mulai mengerti tentang angpau lebaran. Yap, Salfa sudah mengerti kalau uang itu dipakai untuk membeli sesuatu. Dan di dalam pikirannya, uang yang diberikan kepadanya dianggap untuk membeli biskuit dan mainan. Jadi, ketika dapat uang Salfa akan langsung mencari saya untuk diajak membeli biskuit atau mainan bahkan kerupuk.
Beralih ke kuliner saat lebaran. Seperti tahun-tahun sebelumnya, lebaran di Jawa memang tidak akan lepas dengan Sambal Tumpang Pecel, makanan yang khas dan paling dicari daerah Kertosono. Ibu mertua saya memang paling pandai soal memasak masakan satu ini. Ditambah lagi disajikan Gado-Gado yang rasanya tidak akan kalah dengan warung-warung makan di luar. Belum puas dengan masakan ibu mertua, nenek suami (disebut Mak’e) ternyata menyajikan masakan lebaran yang sayang jika dilewatkan, yaitu Lontong Kikil yang ditambah dengan pentol (sebutan untuk meatball). Plus ada budhe (tante) yang juga membuat Nasi Kuning. Jadi, yang tidak suka Lontong Kikil bisa menyantap Nasi Kuning. Sebenarnya Nasi Kuning adalah masakan wajib yang selalu ada saat hari raya Idul Fitri tiba di rumah Mak’e. Eits, ada Rujak Petis juga lho.
H+3 Lebaran 1437 H
Bosan dengan menu makanan di rumah, suami mengajak saudara-saudaranya ke Kec. Ngluyu, Nganjuk. Ada apa di sana? Ada Asem-Asem Ngluyu. Saya sendiri baru akan mencicipinya pada hari itu. Hanya tahu kalau makanan satu ini juga termasuk kuliner khas daerah Nganjuk. Tetapi, menahan lidah bergoyang dan pikiran yang terus membayangkan rasa dari Asem-Asem ini pun segera tergantikan dengan jarak yang harus ditempuh dari Kertosono. Satu jam lebih perjalanan menggunakan sepeda motor baru bisa menjangkau pusat lokasi warung yang menjajakannya. Sampai tersesat pula. Maklum, suami pun sudah lama tidak ke daerah ini. Katanya terakhir waktu masih sekolah. Kebayang kan? Hehe.
Setelah mencicipi, Asem-Asem ini rupanya dibuat dari daging kambing. Kuahnya diberi daun kedondong yang memberikan rasa asem dan aroma segar. Tahu sendiri kan kalau daging kambing aromanya sedikit menyengat. Tetapi olahan dengan daun kedondong ini sukses membuat aroma itu tertutupi bahkan seolah-olah makan daging sapi biasa.
Pulang dari menyantap olahan daging kambing, kami pun tidak langsung sampai di rumah. Mampir sejenak di Goa Margo Trisno. Lokasinya tidak begitu jauh dari warung Asem-Asem tadi. Dan sesampai di lokasi, saya langsung bersorak “Horeee, lemak daging kambing tadi bisa hilang dengan membakar kalori di sini.” Sebenarnya itu ekspresi khawatir bin penasaran. Khawatir tidak sanggup sampai ke mulut gua yang hars didaki sejauh lebih kurang 600 meter tetapi penasaran ingin menyaksikan langsung penampakan gua yang konon ketika masuk ke dalamnya, maka pasangan suami isteri akan langgeng terus. Ya, namanya Margo Trisno, dari bahasa Jawa diartikan karena cinta. Soal sejarahnya nanti pada kesempatan lain saya ceritakan. Apalagi mengingat saat itu benar-benar menuju gua dengan kostum salah. Mendaki gunung harusnya pakai sepatu atau sandal gunung lah minimal, lha saya kebetulan saat itu menggunakan sandal dengan heels yang cukup tinggi. Masih mau membayangkan bagaimana capek dan sulitnya saya mendaki?
H+7 Lebaran 1437 H
Masih dengan keseruan lebaran bersama keluarga besar suami. Tiba di H+7 lebaran, suami dan beberapa anggota keluarga lainnya sedang sibuk packing. Mau kemana? Ke Bali. What? Ini kan bukan musim liburan akhir tahun, kenapa ke Bali? Sempat ada yang mengatakan seperti itu, tetangga dan teman saya sendiri. Soalnya seperti yang saya sebutkan sebelumnya bahwa lebaran dan Bali dua hal yang masih dianggap bertolak belakang. Yap, itu kalau dipandang dari segi religi sih. Tetapi, ke Bali kali ini sebenarnya bukan sepenuhnya liburan. Ada saudara suami yang sudah yatim piatu melepas masa lajangnya di sana. Mereka pun menikah bukan adat Bali tetapi adat Madura dan agama juga masih tetap sama dengan kami, Islam.
Awalnya saya dan Salfa sudah mengurungkan niat untuk ikut karena perjalanan ke Bali ditempuh dengan jalur darat-laut alias naik bus lalu menyeberang selat Jawa dengan kapal. Sudah terbayang lelahnya dari Kertosono-Bali (Singaraja) yang ditempuh selama 14 jam. Tetapi, karena bujuk rayu adik ipar dan suami, maka saya pun bilang “iya”. Berangkatlah kami.
Sambil menyelam minum air. Itulah yang terjadi setidaknya pada anak kami, Salfa. Tepat diusianya yang menginjak 2 tahun, hari itu juga ada kesempatan lebih kurang 2 jam berada di Bedugul, tepatnya Pura Ulun Danu Beratan. Yap, lokasi yang selama ini hanya bisa saya lihat di tivi, internet bahkan di balik uang lima puluh ribu rupiah. Dan ssst… ini pertama kalinya saya ke Bali. Ya, ini pertama kali saya menginjakkan kaki di Pulau Dewata. Pulau yang selama ini hanya jadi bahan pembicaraan di atas tempat tidur bersama suami. Tidak pernah ada penentuan agenda kapan ke Bali. Tidak pernah pula suami memberi janji akan membawa saya kesana. Suami hanya bilang, “Kalau Allah mengizinkan kita kesana liburan bertiga, pasti ada jalanNya.” Yap, kalimat itu jadi nyata. Allah menakdirkan saya ada di Bali sekaligus membawa Salfa jalan-jalan di hari ulang tahunnya.
Kebersamaan tahun lalu jadi teringat kembali dengan foto-foto di bawah ini:
Umur kepala tiga baru bisa ke Bali. Terlambat? Oh, tidak! Allah lagi-lagi pasti punya hikmah dari setiap yang diputuskannya. Toh masih banyak juga orang di luar sana yang belum diberi rezeki ke Bali, bukan? Tetap selalu menunduk ke bawah. Kalau mendongak terus, leher bisa sakit. Hehe…
Wow… cerita asyiknya lebaran tahun ini sudah menjadi kenangan. Bahan cerita ke Salfa kelak, bahan postingan blog sampai pada bahan untuk saya selalu mengucap syukur bahwa di balik sedihnya dalam hati saya tidak bisa berkumpul bersama keluarga di Maros, Sulawesi Selatan, Allah menggantinya dengan kebahagiaan yang lain dan tetap dalam konteks bahagia dengan keluarga. Betapa tidak, hanya keluarga kecil kami yang absen pada lebaran tahun ini di Maros. Om yang dari Papua dan Jakarta mudik ke Maros dimana mereka tidak setiap tahun juga bisa pulang. Eh, pas mereka ngumpul, saya tidak ada. Maklum, mereka berdua ini om yang selalu mengerti saya dan tidak pernah menolak jika diajak jalan kemana saja, misalnya keliling kota Makassar.
Nah, itu cerita lebaran saya. Kalau lebaran kalian kemana saja? Sharing yuk!
Oiya, ada info penting nih teman-teman dari Diaryhijaber akan mengadakan sebuah event, yaitu Hari Hijaber Nasional yang akan dilaksanakan pada tanggal 07- 08 Agustus 2016 yang berlokasi Masjid Agung Sunda Kelapa, Menteng, Jakarta Pusat. Untuk lebih lengkapnya, bisa cek poster di bawah ini ya. Sayang lho jika dilewatkan. Mumpung bisa bertemu dengan pasangan selebritis Islami yang paling hits, Alyssa-Dude, hihi.
8 Responses
Wahhhh seruuu ya mba..aku paling tergoda sama foto2 makanannya.haha..semoga menang ya mba kompetisinya!
seru banget ya mbaa 😀
lebaran selalu meninggalkan cerita
btw saya pengen nyobain Asem-Asem Ngluyu deh :3
Waduuuuw ketemu si rujak cingur ini lagi si sini, errrrr. Asli mba aku ngilet hiks….
Btw ini mah lebaran rasa liburan beneraaaaan, sampe tekan Bali hahaha enaknya. Apalagi agenda ke Bali bertiganya masih lanjut niiiih 🙂
Sudah lama nggak makan rujak cingur, pengiiiin.
Akhirnya bisa ke Bali juga ya Amma. Aku juga baru ke Bali pertama kali sudah umur 38, setelah 11 tahun perkawinan. Bersyukur dan seneng banget bisa liburan dg suami dan anak-anak.
Sukses lombanya ya 🙂
Banyak banget ya mbak bawaan mudiknya tahun lalu. Lamakah mudiknya?
enak e reeeeeekkkk… hehehehe
Ihiiw…mbak Salfa udah sampai Bali. Jasmine mau nyusul kapan2, ah. Doakan, yaa. :*
Asem2 Nglunyu…. penasaran banget Mbak.
Baca kisah kesasar, aku jadi ingat suami yg kesulitan mengingat jalan2 di kotanya. Duh…. dia lebih hafal jalan di Jepara daripada kota lahirnya.