“Ayah, aku kok rasane nyesek ya. Habis nimbrung di grup tapi ternyata pendapatku sepertinya keliru.”
“Risiko berinteraksi dengan banyak orang, Nda. Memangnya bahas apa?”
“Biasa, Ayah. Soal anak dan statusku S2 tapi katanya eman karena gak kerja. Persis sama grup keluarga.”
“Cari circle yang lain. Circle yang saling dukung.”
“Hmm, sudah ada yang begitu. Cuma di grup ini banyak teman-teman yang sudah kenal lama.”
“Harusnya kalau sudah kenal lama sudah tidak mempermasalahkan hal itu. Toh tidak merepotkan mereka.”
“Nah itu dia.”
“Bunda saja mungkin pas buka grup kondisi hati lagi tidak baik. Lelah atau kurang tidur jadinya mudah baperan. Wes turu ae, Nda.”
Saya pun beranjak perlahan meninggalkan ruang tamu dan masuk ke kamar. Memang sepertinya sifat sensitif ini sangat sering terjadi kalau sedang lelah. Harusnya sih sudah mengukur diri tetapi tetap saja mau nimbrung. Jadinya yaa seperti itu hasilnya.
Inilah kebiasaan buruk yang harus saya ubah. Setidaknya tahu mengukur diri, kalau sedang tidak baik-baik saja lebih baik tidak menyentuh grup-grup percakapan yang isinya random. Apakah ada yang lain? Simak sampai habis!
Bentuk Kebiasaan Buruk yang Ingin Diubah
Saya akui kalau kebiasaan buruk ini biasanya dampaknya berlarut-larut. Namun, seiring berjalannya waktu maka saya pun berusaha. Berikut kebiasaan buruk tersebut:
Tidak Bisa BILANG TIDAK
Namun, itu DULU!
Sekarang perlahan-lahan sudah bisa. Contohnya seperti:
- Diajak Bu RT ikut arisan lebih dari satu nama
- Kamera Mirrorless mau dipinjam tetangga yang saya tahu kalau dia tidak paham fotografi (khawatir kamera rusak karena asal pencet ini itu)
- Bilang TIDAK saat anak mau beli yang belum jadi kebutuhannya
- Menolak pekerjaan blog atau fotografi jika memang tidak bisa kompromi dengan jadwal sekolah anak-anak
- Diajak hangout sampai malam di mall
Dan beberapa lagi lainnya. Setidaknya saya sudah bisa SAY NO untuk hal-hal yang prioritasnya harus melangkahi prioritas utama, hehe.
Menumpuk Pekerjaan Satu Waktu
Ini nih yang masih terus ada sampai sekarang. Soalnya selalu berpikir kalau raga masih kuat. Ternyata seringnya berakhir dengan tempelan anti nyeri di bagian kaki dan punggung bahkan di dahi, haha. Makanya ini perlu saya ubah segera sebab makin menjelang usia 40 tahun, rasanya memang sudah harus menyayangi diri sendiri dengan tidak menumpuk pekerjaan.
Contoh kecilnya adalah menumpuk tugas blogwalking yang akhirnya kelimpungan dan selesai hingga tengah malam. Tidak hanya itu, kadang juga tugas menulis, desain dan lainnya ditumpuk semua makanya kebingungan dan tidak jarang menangis sendiri di depan leppy ketika jarum jam DL makin mendekat, haha.
Suara Tinggi
Sebenarnya saya juga bingung mau mengubah ini seperti apa. Soalnya bawaan orok, haha. Bahkan keluarga suami yang berasal dari Jawa yang bahasanya halus kadang kaget kalau saya bicara. Saya bicara biasa tetapi suaranya besar jadinya disangka marah atau bahkan bertengkar dengan suami, haha.
Padahal bicara dengan teman sekampung atau siapa saja sudah terbiasa dengan suara tinggi. Alhasil juga kalau bicara sama anak kadang terdengar suami suara saya tinggi jadinya disangka marah ke anak. Jadinya selalu dengar suami bilang begini:
“Wes to Nda, kok muring-muring ae to?”
***
Well, yang sering berinteraksi dengan saya pasti tahu dan hafal bagaimana upaya mengubah semua itu. Tidak jarang curhat via WhatsApp agar sejenak bisa membuka pikiran. Namun, dengan beberapa orang entah seringnya juga bawa perasaan, haha.
34 Responses
Bilang Tidak sepertinya kebiasaan buruk banyak orang. Susah nolak, alasan kasihan, terlalu baik sama orang yang akhirnya jadi tidak baik.
Kalau suara tinggi aku juga kena komplain suami, memang logatnya Suroboyo begitu dikiranya lagi marah-marah
“Ngomong sama suaminya mbok yang kalem” 😂
Hahaha Om Rey kena juga ya
Mas Adi ya ngomong ngunu hahaha
Kebiasaan susah sih buat diubah, kalo orangnya sendiri ingin mengubahnya. Tapi pelan pelan bakalan bisa. Aku pun juga coba ubah kebiasaan buruk…
Setuju Bun Rahmah!
Skala prioritas itu, memang, sangat sangat membantu sekali.
Works for me, indeed!
Tentang blogwalking,
Aku memilih meluangkan waktu melakukannya daripada buru-buru mengerjakannya, di mepet waktu.
Ada beberapa blog yang aku senang banget berlama-lama di sana, jadi kalau ada internal link, biasanya aku klik juga.
Menikmati mistika sorytelling atau sekedar memanjakan mata dengan photo-photo di sana.
Rasanya sayang kalau hanya cuma scrolling doang.
But, still,
Aku juga sedang belajar mengubah beberapa kebiasaan buruk seperti lupa waktu kalau sedang menikmati film atau tontonan serial, suka gak sabar ingin menuntaskannya. Hahaha.
Padahal, di situ seninya ya.
Bilang tidak, ini juga yang terus saya coba untuk menguatkan diri dan hati mbak.
Kalau soal menumpuk pekerjaan, masih juga terus berupaya untuk tak lagi melakukan hal ini.
Gak enakan gitu, ya? tapi itu salah satu pengaruh kultur dan budaya kita sebagai orang timur sih katanya.. ya pelan-pelan sambil make-sure kalau sesekali menolak itu juga lumrah bagi setiap pertimbangan dengan orang yang berbeda, semangat, kak! 🙂
Perbaiki harus dengan niat dan kontinu agar terlihat perubahan dengan sempurna.
Ada sebagian orang yang tidak mau pendapatnya dianggap jelek dan hanya pendapat dia yang bener. Ah teman kaya gitu gak asik dan wajib di tinggalkan
Ananda, anandaku Rahmah, koq kebiasaan bersiuara tingginyabkyk temen bunda lho. Trus skrng doa berubah kl bicara sama bunda. Gini nih di l bilang: “bunda di sini kan? Gak jauh2? Hahaha alhasil dia berubah krn ngomongnya saiki penal dirungokke hehe…..nice 2 c u here.
Mantap mbak amma
Emang kita harus berani bilang TIDAK pada sesuatu yang bikin kita nggak nyaman
Nggak semua harus kita ikuti ya, fokus pada skala prioritas itu penting
aku juga banyak kebiasaan buruk yang ingin diubah kayak suka menunda pekerjaan dan malas olahraga. bagusnya sih dibikin list ya mbak kebiasaan yang mau diperbaiki ini biar lebih terarah
Berani untuk katakan tidak memang perlu, apalagi urusannya “gak enakan” ya. Karena orang aja seperti gak punya rasa gak enakan sama kitanya hehe
Capek ya ngelayanin omongan orang. Apalagi yang tidak kenal baik dan dekat dengan kita. Jadi mending batasi diri dan say No kalau tidak nyaman
Kereen ka Amma..
Memahami dan berusaha mengubah kebiasaan buruk diri ini penting.
Aku sampai skarang masih suka nada tinggi. Akibatnyaaa.. anakku skarang juga ada kalanya berbicara dengan nada seperti itu.
Semoga kebiasaanku bisa diperbaiki dan menjadi contoh yang baik untuk ((minimal)) anak-anak.
Setuju banget deh, harus bisa bilang tidak gak apa-apa menurutku. Jadi gak merasa gak enakan, aku sih kalau gak ya enggak dan gak ada rasa gak enak. WAkakakakaaa… Pokoknya semakin ke sini harus lebih tambah baik lagi dan mengubah jelek-jelek jadi lebih baik.
Nah itu dia.. saya juga pengen banget menghapus kebiasaan buruk. Terutama menumpuk kerjaan dalam sekali waktu. Jadi pas dikerjakan kurang maksimal karena banyak banget, bruk brukan.
Sama biar suara gak tinggi itu gimana ya? Dari dulu kalau gak sreg sukanya teriak-teriak, apalagi kalau anak gak nurut, mulai daah. Wkwkwkw
Aku nih masih suka menumpuk pekerjaan wkwk. Belum semangat kalau belum deadline. Harus dihilangkan ya kebiasaan buruk itu.
Hahahahaha… Yang mba Rahmah sebut sebagai kebiasaan buruk ini kok tiga2nya ada di aku yaaa.. Masih susah nih buat ngilangin. Terutama yang nomer 3. Bener emang bawaan orok. Apalagi kalo ngobrol ama keluarga dari Bugis. Sering dikira orang lagi berantem 😄😄😄