Sedih. Kata yang pas melihat dunia pendidikan saat ini. Ujian Nasional yang menjadi salah satu momen penting dalam dunia pendidikan harus diwarnai kekacauan. Bukan kekacauan biasa tetapi sungguh kekacauan yang mengundang saya untuk ikut berargumen.
Jika mengingat tahun 2003 lalu, Ujian Nasional berjalan dengan lancar tanpa berita-berita yang tidak enak. Lulus dan tidak lulus menjadi sesuatu yang harus diterima dan dihadapi tentunya. Sangat bersyukur bisa ada di tahun tersebut mengikuti Ujian Nasional. Alhamdulillah hasilnya juga memuaskan. Persoalan ada yang tidak lulus hal itu sudah biasa karena memang tingkat kesulitan soal berubah-ubah tingkat kesulitannya. Tergantung kesiapan materi dan mental dalam menghadapinya.
Seiring dengan berjalannya waktu, Ujian Nasional mengalami banyak perubahan. Mulai dari banyaknya tipe soal, tingkat kesulitan hingga kepada kenyataan bahwa beberapa sekolah banyak yang tidak mengalami kelulusan 100%. Bahkan berita-berita miring seperti jual beli kunci jawaban, pihak sekolah berusaha memberikan kunci jawaban kepada siswanya melalui SMS atau dengan cara lain juga berkembang hingga kepada proses mengubah lembar jawaban siswa untuk mendongkrak nilai Ujian Nasional siswa.
Mendengar berita-berita tersebut, baik di media maupun sekedar perbincangan siswa, sungguh membuat Ujian Nasional sudah bukan sesuatu yang mampu mengukur kemampuan siswa. Ujian Nasional yang menghabiskan dana milyaran rupiah setiap tahun seperti sebuah aktivitas yang membuang-buang uang saja. Hasilnya jauh dari yang sebenarnya.
Sebenarnya, Ujian Nasional tidak bisa menjadi tolak ukur kepintaran siswa bahkan kesuksesan suatu sekolah. Waktu lebih kurang 3 tahun untuk menimba ilmu di sekolah sangat tidak pas jika harus ditentukan pada Ujian Nasional. Mengapa? Banyak faktor yang membuat seorang siswa gagal di dalam Ujian Nasional sekalipun siswa tersebut pandai atau mungkin bintang di sekolah. faktor interen dan eksteren bisa menjadi penyebabnya.
Jika memang ada satu ujian penentu kelulusan seorang siswa untuk melaju ke tingkat pendidikan selanjutnya, mungkin ada baiknya melihat kembali asupan pendidikan yang berada di seluruh pelosok negeri. Pemerataan pendidikan sudah seharusnya lebih dulu digalakkan. Sangat disayangkan karena materi yang diangkat dalam Ujian Nasional berlaku nasional sementara masih banyak sekolah yang masih jauh dari standar nasional, mulai dari fasilitas hingga kepada tenaga pengajar. Bahkan ada beberapa materi yang tidak sempat untuk diajarkan lagi karena Ujian Nasional sudah di depan mata.
Dengan begitu mungkin Ujian yang sifatnya Nasional kembali dititikberatkan kepada sejauh mana kurikulum pendidikan berjalan di sebuah sekolah. Hal ini akan mengecilkan kemungkinan untuk kecurangan seperti yang saya sebutkan sebelumnya.
Dan yang paling membuat saya heran, pihak percetakan yang lambat mengerjakan bahkan salah kirim soal Ujian Nasional ke kota tujuan. How come? Memangnya soal Ujian Nasional dikerjakan kapan? Saya kadang berpikir, dana segitu banyaknya disalurkan melalui siapa dan bagaimana hingga terjadi kekacauan seperti di tahun 2013 ini. Mungkin para pembaca mengatakan saya “sok peduli” atau “sok benar”. Terserah saja. Pastinya inilah dunia nyata pendidikan kita. Entah kinerja seperti apa yang diharapkan bangsa Indonesia melihat kinerja aparat pemerintah, khususnya pendidikan, sudah sedemikian kacaunya.
Lalu, dengan adanya kekacauan seperti ini, masihkah Ujian Nasional menjadi sesuatu yang membanggakan dunia pendidikan?
2 Responses
Ujian Nasional, ternyata tidak hanya mengevaluasi hasil belajar siswa selama belajar di sekolah, tetapi juga bisa menjadi alat ukur untuk menilai sejauh mana pembelajaran nilai (karakter) di sekolah itu terbentuk. Dalam ujian, entah itu ujian sekolah ataupun ujian nasional, ada sebuah ‘pertarungan harga diri’ yang dipertaruhkan. Bagi siswa, proses pembelajaran selama bertahun-tahun, nasibnya harus dihadapkan pada beberapa hari saja, ketika ujian berlangsung. Bagi sekolah, adalah pertaruhan nama baik, karena ini menyangkut kredibilitas sekolah dalam meluluskan anak didiknya.
@Amado Mathis,
yup, dan seharusnya tidak demikian 🙁