Tetangga Oh Tetangga – Judulnya sedikit menohok sih sebenarnya. Ya, sengaja membuat tulisan ini agar menjadi self reminder buat saya pribadi agar kedepannya bisa jauh lebih baik. Betapa tidak, semakin kesini, semakin banyak harus menjelaskan sesuatu. Entah itu dengan bahasa lisan ataupun dengan tulisan. Dan ujung-ujungnya, saya tidak ingin terjerat akhir yang mengenaskan hanya karena lisan yang tak terjaga.
Sebenarnya awal mula menulis hal ini adalah ketika saya ditanya oleh salah seorang tetangga tentang aktivitas saya sehari-hari. Katanya, beliau jarang melihat saya keluar rumah. Jika pun melihat, mereka hanya bisa menemui saya di warung yang menjajakan nasi (seperti nasi kuning, nasi pecel dan juga nasi tumpang). Mereka jarang sekali menemukan saya duduk dan berbincang-bincang dengan tetangga lainnya.
Sayapun menjawab dengan senyuman lalu disambung dengan kalimat, saya punya banyak pekerjaan. Seketika itu pun salah satu tetangga yang usianya jauh lebih tua mengatakan, “Oalah, kerjaan opo to, Mbak? Lha wong sampeyan neng jero kamar ae.”
Deg. Mendengar kalimat tersebut saya pun dengan spontan bertanya, “Lho, memangnya Ibu tahu apa yang saya kerjakan di kamar?” Ibu itu menjawab lagi, “Opo meneh to nek nggak turu karo anak’e”. Sudah bisa saya duga sebelumnya memang jawaban itu yang akan keluar dari mulut si Ibu tetangga. Sebab, kamar memang sesuatu yang selalu dan akan selalu identik dengan tidur. Tetapi, itu tidak berlaku sepenuhnya buat saya.
Ruang bergerak saya saat ini memang lebih banyak di kamar. Karena di kamar saya bisa merenung untuk mendapatkan ide, melakukan ibadah, menikmati perbincangan teman-teman di berbagai media sosial, sampai pada bekerja sebagai blog writer alias blogger. Dan yang paling seru adalah bermain dan belajar dengan anak saya, Salfa.
Lantas, mengapa harus di kamar? Jawabannya cukup sederhana. Saya membiasakan anak saya untuk berada di lingkungan sempit. Saya akui rumah mertua memang sangat luas. Namun bukan berarti saya harus membiarkan anak saya menjadikan semuanya sebagai “ladang bermain”. Saya harus mengajari anak sejak dini bahwa semua ada batasannya. Terutama wilayah yang bisa dijadikannya tempat untuk “menghamburkan” semua mainannya. Alasannya memang tidak masuk akal, ya? Tetapi itulah salah satu cara saya membuatnya memahami bahwa lingkungan di sekitarnya bisa dinikmati tetapi tidak untuk dikuasai.
Tetangga bilang kalau saya terlalu membatasi ruang gerak anak. Sama sekali tidak, hanya saja setiap orang punya batasan. Apalagi berada di bukan rumah pribadi. Kalau pun sudah di rumah pribadi, anak saya harus tahu mana ruang untuk bermain, makan, tidur dan sebagainya. Karena masih di rumah mertua, maka saya membiasakannya menerima kondisi kamar untuk dirinya bermain dan belajar. Di kamar ini saja kadang belum terjamah semua olehnya, kok.
Bosan? Iya, jika melihat janak sudah mulai bosan, maka bukan berarti saya tetap membiarkannya di kamar. Keluar dari kamar dan bercengkrama dengan sepupunya juga penting. Hanya saja, usia anak dan sepupunya masih terbilang kecil. Masih sering bertengkar persoalan mainan, khususnya mainan yang menghasilkan bunyi. Belum lagi jika melihat TV sedang menyala. Anak saya sudah pandai melihat iklan/reklame (*entah siapa yang mengajari pertama kali). Dan ini pun menjadi alasan saya untuk tidak banyak membuatnya berada di luar kamar. Saya tidak ingin anak saya kecanduan TV sehingga mengganggu aktivitas yang seharusnya dilakukan oleh anak seusianya.
Nah, itulah jawaban detail sebenarnya. Argumen tetangga yang saat ini sudah menyebar ke beberapa rumah lainnya memang sedikit membuat tidak nyaman. Hanya karena satu kalimat yang terucap oleh satu tetangga saja, sudah mampu menimbulkan bara api, setidaknya bara api ketidaknyamanan dalam hidup saya. Tetapi, begitulah hidup bertetangga. Sulit menjaga lisan ketika ada yang “aneh” sedikit terlintas di depan mata.
Kalau kamu, terganggu dengan lisan tetangga juga?
4 Responses
Waaa tetangganya pedes bgt ya? Dulu pernah tinggal di rumah ortu, juga di rumah mertua. Tapi berhubung dirumah cuma ada kami & ortu, & tiap bangun tidur langsung diambil alih neneknya, ya sudah serumah diacak-acak. Apalagi di rumah mertua yg sering ditinggal sendiri, habis deh itu rumah. Tapi nggak ada tetangga yg jleb kyk gitu, entah kalau di belakang kami.
sering banget mbak..begitulah nasib bertetangga…kadang kalo udah ngomong setajam silet juga…emang bingung dah..namanya juga makhluk sosial…
Tetangga oh tetangga, kalau aku mantan ARTku…usiiiil banget sampai berdiri di belakang ketika aku duduk di meja di depan laptop. Beuuuh. Yang terpenting alasan kamu memang terbaik buat anak dan kamu Maak,
Aku tiap hari juga di kamar, lha lapieku ada di kamar, ngeblog nya juga di kamar 🙂