Surat untuk Bapak

Surabaya, 15 Juni 2014

Untuk Bapak yang berada jauh di sana…

Assalamu’alaikum, Bapak!

Bagaimana kabar Bapak di sana? Masihkah penuh semangat seperti biasa? Masihkah senyum dan tawamu yang mencerahkan memberi motivasi untuk terus maju? Aku harap begitu, Bapak…

Bapak,

Ingatanku seperti tidak ingin lupa gambaran wajahmu yang begitu bahagia memilikiku. Meskipun aku dan Bapak tahu, wajahku tak secantik anak teman-temanmu. Bahkan postur tubuhku saja sering menjadi bahan tertawaan teman-teman sekolahku. Tetapi, aku tak pernah marah atau menangis mendengar ocehan mereka, karena Bapak selalu ada dengan pelukan dan kata-kata penyejuk jiwa hingga air mataku enggan menampakkan diri.

Bapak,

Aku pun tak pernah lupa, bagaimana gigihnya naluri pendidikmu menyentuh setiap hari-hariku dan memotivasiku untuk tidak pernah malas belajar dan membaca. Aku masih ingat, saat Bapak menyuruhku menyusun huruf untuk kata “B-A-K-S-O” tetapi aku malah menyusun kata menjadi “N-Y-U-K-N-Y-A-N-G”. Dua kata yang aku tahu maknanya sama. Setelah melihatnya, Bapak tertawa terkekeh-kekeh dan hampir jatuh dari posisi Bapak duduk. Masih ingat kan, Pak?

Bapak,

Rasa bersalahku akhirnya datang kini, karena tak pandai merawat hadiah-hadiah yang pernah Bapak berikan. Aku masih ingat betapa bahagianya saat Bapak membelikan aku 1 set alat tulis menulis termahal saat itu. Kata Bapak, itu pantas buatku karena terus menjaga kualitas belajar dan prestasi di sekolah.

Bapak,

Aku tidak pernah tahu mengapa jiwa dan ragaku lebih dekat denganmu dibandingkan Ibu. Apakah karena jiwa dan raga kita memiliki kepekaan yang sama? Atau mungkin karena aku benar-benar menemukan kedamaian saat berinteraksi denganmu. Sekecil apapun itu, bagiku Bapak selalu memberiku ketenangan.

Bapak,

Saat duduk di bangku SMA, Bapak mendapati hatiku kagum pada sosok temanku. Bapak bilang, aku sudah mulai masuk dalam indahnya jatuh cinta. Tetapi pelan-pelan Bapak mencegahku jatuh lebih dalam agar prestasiku tidak terganggu. Bapak mengarahkan rasaku itu pada sebuah cita-cita masa depan, hingga aku harus berusaha mengendalikannya dengan baik. Dan aku masih ingat ketika saat pulang sekolah, Bapak ternyata telah menungguku di gerbang sekolah. Bapak tak ingin temanku itu yang menemaniku pulang. Aku kaget karena tak biasanya Bapak melakukan hal seperti itu.

Bapak,

Kepergianmu sudah memasuki tahun keempat. 13 Oktober 2010 itu adalah hari dimana hatiku dicabik-cabik antara kenyataan, keikhlasan dan kesabaran. Aku seperti didudukkan pada sebuah kursi yang memiliki alat pengendali kehidupan. Aku harus menjalankannya dengan baik meskipun tanpa Bapak lagi yang mengarahkanku. Air mata pun menjadi saksi saat itu. Rapuh untuk sementara waktu. Seiring berjalannya waktu, semua kulalui dengan doa dan semangat yang telah Bapak tanam di sini, di hatiku.

Bapak,

Meskipun tak akan pernah melihatnya, aku tahu Bapak juga bangga di sana. Aku sudah memilih hidup bersama sosok pria yang kuanggap bisa membawaku pada kebahagiaan dunia dan akhirat. Dan dia banyak belajar dari Bapak lewat ceritaku akan dirimu. Penuh syukur karena kesabaran, keta’atan dan semangatnya bekerja hampir sama dengan Bapak.

Oiya, Bapak juga sebentar lagi akan memiliki cucu dari kami berdua. Andai saja Bapak ada, tentu kami tak lagi bingung mencari nama terbaik karena Bapak selalu pandai mencari nama dengan makna yang begitu indah. Seperti namaku, Rahmah. Bapak berharap aku hidup berlimpah kasih sayang dan bisa menebarkannya pada setiap orang di sekelilingku.

Bapak,

Hari ini, 15 Juni, adalah Father’s Day. Aku ingin Bapak ada di sini dan itu sesuatu yang tak mungkin. Sejak kepergianmu, aku bisa menyentuh, merengkuh, memeluk dan melihatmu tersenyum hanya lewat mimpi. Hampir setiap hari Tuhan mengirim Bapak untuk mengunjungiku di dalam mimpi. Bahkan aku sering tak mengerti ketika aku ingin ikut denganmu, Bapak selalu mencari alasan agar aku tak ikut. Dan Bapak akan terlihat bahagia saat aku memutuskan untuk merelakanmu pergi.

Bapak,

Terima kasih sudah mengajariku bagaimana menjadi manusia hakiki. Menuntunku untuk terus tekun mencari ilmu sampai kapanpun. Menyemangatiku agar tak pernah letih menjawab semua permasalahan hidup. Mendidikku dengan segenap kepandaian yang kini telah kunikmati manfaatnya.

Maafkan aku yang sampai saat ini belum bisa mewujudkan impianmu untuk mengabdikan ilmuku di dunia kerja. Karena saat ini, suami dan calon anakku adalah prioritas utama yang kelak menjadi jalanku ke surgaNya.

Maafkan jika aku selalu merindumu…

Dari anak yang belum sempat membuatmu bahagia,

Rahmah

Facebook
Twitter

Related Posts

16 Responses

  1. Assalamu’alaikum…. Misssss…..oh salah Mammmm 😀
    gimana kabarnya??
    Main ke blog Mukti yaaaa 😀 anyeong~

  2. Bapak,

    Kepergianmu sudah memasuki tahun keempat. 13 Oktober 2010 itu adalah hari dimana hatiku dicabik-cabik antara kenyataan, keikhlasan dan kesabaran. Aku seperti didudukkan pada sebuah kursi yang memiliki alat pengendali kehidupan. Aku harus menjalankannya dengan baik meskipun tanpa Bapak lagi yang mengarahkanku. Air mata pun menjadi saksi saat itu. Rapuh untuk sementara waktu. Seiring berjalannya waktu, semua kulalui dengan doa dan semangat yang telah Bapak tanam di sini, di hatiku.

    sedikit sedih juga mbak karena bapak saya juga sudah wafat,semoga di terima di sisi Allah,… Amiin

  3. Indah sekali, Mak. Terharu. 🙁 Insya Allah Bapak bangga dan bahagia, walau kalian tak lagi bersama secara fisik. Aamiin.

  4. Happy father’s day… Jg pgn telp bapak..ceritanya menyentuh sekali mbak.. Semoga bapak mbak tenang di sisi-Nya

  5. Tulisannya sangat menginspirasi Mbak, Alhamdulillah kedua orang tua saya masih ada dan selalu dalam lindungan Allah SWT. Buat Mbak, apa yang kita lakukan selama di dunia Insya Allah tetap akan menjadi “buah” bagi Almarhum yang bisa dipetik. Amin Ya Rabb…

  6. ini pasti semua serba dari bapak bukan? tulisannya bagus, lugas, dan inspiratif bagi saya dan tentu saja bagi siapa yang membaca pastinya memiliki sudut pandang tersendiri bukan mbak???

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *