Sebut saja si U. Seorang anak laki-laki yang tinggal di desa salah satu kabupaten di Sulawesi Selatan. Hidupnya serba sederhana bersama kakak dan ibunya. Sejak SMP, Ayahnya sudah tiada. Maka kakaknya menjadi tulang punggung keluarga dengan pekerjaan setiap harinya berkebun dan bertani. Menyadari hal tersebut si U pun tidak ingin menyia-nyiakan usaha kakaknya dengan belajar bersungguh-sungguh. Si U mulai memupuk harapannya, agar bisa memiliki pekerjaan yang lebih baik dan mapan untuk memperbaiki pereknomian keluarganya.
Seiring dengan berjalannya waktu, si U pun lulus dari SMEA. Dengan semangat, dia membicarakan keinginanya untuk kuliah di kota Makassar. Kakaknya tidak melarang sama sekali. Hanya sang Ibu yang sedikit bersedih karena akan berpisah dengan anaknya. Tetapi si U memberikan pemahaman dengan lemah lembut kepada Ibunya. Si U menerangkan bahwa tujuannya kelak berkuliah adalah salah satunya ingin membuat Ibunya bangga dan bahagia. Dengan doa tulus sang Ibu, si U memulai perjalanannya di kota besar.
Berada di kota besar memang ujiannya tidak sedikit. Kehidupan yang serba sederhana ketika berada di kampung halaman harus tertantang dengan pesona kemewahan kota besar. Belum lagi harga makanan dan tempat tinggal yang tidak murah. Untung saja sudah ada beberapa Om dan Tante si U menetap di kota tempatnya akan menjalani kehidupan. Sehingga dengan ikhlas si U menawarkan diri untuk tinggal bersama Om-nya. Istilah kasarnya adalah “menumpang”.
Karena status si U adalah menumpang hidup, tentu saja dia tidak bersikap seenaknya. Si U membantu Om dan Tante-nya untuk segala jenis pekerjaan di rumah. Mulai dri menyapu hingga memasak. Si U tidak malu meskipun dirinya adalah lelaki. Baginya, diberi tumpangan dan makan gratis haruslah dia balas dengan apa yang bisa dikerjakannya. Dan dengan sifat dan sikapnya yang sopan serta santun itulah, Om dan Tante-nya tidak pernah merasa berat jika si U menetap di rumah mereka. Apalagi si U adalah keluarga sendiri.
Tantangan kehidupan dimulai saat dirinya harus berhadapan dengan tes masuk perguruan tinggi. Dia dibuat bingung dengan pilihan studi yang akan diambilnya dan kelak membawa perubahan dalam diri dan juga keluarganya di kampung. Satu-satunya ilmu yang dikuasainya saat itu adalah Ekonomi. Maka maksud hatinya adalah ingin mengambil jurusan Ekonomi dan menjadi mahasiswa yang akan berkutat dengan seputar perekonomian. Namun, sepertinya keinginan tersebut harus terpatahkan setelah bertemu dengan teman lama saat di kampung yang telah lebih dahulu menjalankan aktivitas sebagai mahasiswa.
Temannya menceritakan bahwa studi Bahasa Inggris memiliki masa depan yang cerah. Semua orang akan membutuhkan keahlian dalam menggunakan ilmu tersebut. Bahkan menceritakan bahwa dengan menguasai Bahasa Inggris, banyak turis asing yang memintanya menjadi guide dan tentu saja diberikan upah sebagai tambahan uang kuliah dan jajan. Tawaran untuk membantunya kelak saat menjalankan studi diberikan oleh temannya. Dia pun seketika merenung. Mempertimbangkan masukan dari temannya memang tidak mudah melahirkan keputusan dalam sekejap. Berpikir sehari semalam, akhirnya dia memutuskan untuk memilih Bahasa Inggris, bukan Ekonomi. Menurutnya, tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini jika diusahakan dengan sungguh-sungguh apalagi diikuti do’a agar Tuhan selalu memberikan berkah dan solusi.
Singkat cerita, perjalanan menjadi mahasiswa Bahasa Inggris dilewati dengan beragam rintangan dan kisah manis. Memang benar, jika sungguh-sungguh dalam menguasainya, semua akan begitu mudah. Dia pun selalu mengikuti cara belajar temannya, yaitu setiap tengah malam terbangun untuk menunaikan shalat malam lalu kemudian membuka halaman demi halaman diktat yang menjadi bahan belajar. Satu sama lain pun membuat perjanjian untuk tidak menggunakan bahasa lain selain Bahasa Inggris ketika sedang berdialog. Jika salah satunya tidak tahu akan makna kata dalam bahasa tersebut, maka yang lainnya memberi tahu atau membuka kamus saku yang selalu dibawa kemana-mana. Begitu seterusnya sampai mereka terpisahkan oleh takdir dalam memperoleh pekerjaan.
Si U mendapatkan kehormatan sebagai supervisor bidang studi Bahasa Inggris di salah satu kabupaten dimana tempatnya mengajar. Bahkan semua guru-guru Bahasa Inggris tingkat SMA di kabupaten tersebut banyak belajar darinya. Bagaimana metode mengajarkan Bahasa Inggris yang baik dan benar hingga mengoreksi buku-buku pelajaran Bahasa Inggris yang memberikan penjelasan keliru dalam setiap bahasannya.
Tak pernah menyangka dengan berbekal semangat, kerja keras dan doa, bidang studi Bahasa Inggris telah mengharumkan namanya hingga maut menjemputnya. Tak sedikit siswa (i) yang pernah diajarnya memiliki cerita manis tentangnya. Bahkan ada siswa yang saat diajar begitu sulit tetapi ditangan si U, siswanya tersebut sudah menjadi orang sukses pula. Tak hanya dari kalangan siswa (i), teman-teman seperjuangan dan teman-teman sesama pengajar hampir tak pernah punya cerita buruk tentang sosoknya.
Sabar, santun, murah senyum dan mata sipit yang berwarna biru memang menjadi ciri khasnya. Kini dia menjadi kenangan. Kenangan yang memberikan pelajaran tersendiri bahwa tidak ada yang tak mungkin jika berusaha, dimana ada kemauan di situ ada jalan dan menyerah adalah manusia yang kurang bersyukur. Resopa Temangingngi’ Namalomo Naletei Pammase Dewata sangat pas untuk perjuangan hidupnya sebagai orang Bugis.
Makna Ada Pappaseng (Pepatah) Resopa Temangingngi’ Namalomo Naletei Pammase Dewata
Resopa: Hanya dengan kerja keras
Temangingngi’: Ketekunan/tak mudah menyerah
Namalomo: Mudah
Naletei: Diberi/Mendapatkan
Pammase: Berkah/Ridho
Dewata: Tuhan
“Hanya dengan kerja keras dan ketekunan maka akan mudah mendapatkan ridho oleh Tuhan”
Orang Bugis memang dikenal pantang menyerah dan gigih dalam berusaha. Pepatah inilah “Resopa Temangingngi’ Namalomo Naletei Pammase Dewata” yang selalu dipegang kuat oleh mayoritas masyarakat Suku Bugis sebagai pemicu semangat dalam keberhasilan. Dan dijadikan motivasi bagi mereka yang meninggalkan tanah Bugis ke tempat perantauan. Tak jarang pula pepatah ini dijadikan motto dalam organisasi-organisasi yang di dalamnya berkumpul banyak orang-orang Bugis. Bahkan di salah satu portal berita online pun menuliskan bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengucapkan kalimat ini untuk menyemangati seluruh jajaran kabinetnya tahun 2009 lalu.
NB:
Cerita di atas adalah kisah nyata dari salah satu anggota keluarga yang darinya saya banyak mengambil pelajaran hidup. Semoga ilmunya menjadi amal jariyahnya kelak.
“Tulisan ini disertakan dalam kontes GA Sadar Hati – Bahasa Daerah Harus Diminati”
5 Responses
saya bacanya jadi merinding mak… banyak pelajaran dari pengalaman hidupnya ya…
Intinya tak ada yg tak mungkin ya mak Amma selagi kita rajin berusaha
Rajin banget, cowok saja mau masak, ya. 🙂
Selagi ada kemauan yang kuat, insya allah diberi jalan ya, Mba.