Puisi merupakan cara terbaik dalam melampiaskan isi hati ataupun sekelumit pikiran yang kalut. Tidak usah melampiaskannya dengan NARKOBA atau hal-hal yang efek sampingnya berbahaya. Meski tak sehebat karya WS Rendra atau Chairil Anwar yang penting mencoba dan terus mencoba. Ketika terus mencoba, lama-kelamaan akan terbiasa menuliskan yang terbaik dari waktu ke waktu.

Puisi: Masih

Bunyi yang membuatku penat
Tak mengerti maksud dan tujuannya apa
Aku hanya berdiri dalam sekat
Entah kapan harus benar terlepas darinya
Masih

Tumpukan huruf menanti diasah
Menjadikannya sebuah makna yang menggugah
Tetapi
Kelu jemari tak kunjung berganti arah
Masih terpaku pada hati lara nan gundah

Masih
Kapan nyatamu menggenggam pasrah
Agar tak lagi memancing amarah

Masih

*menatap titik hujan yang selalu datang tak kenal lelah – Allohumma shoyyibaan naafi’aan

Note:

Puisi di atas mengisahkan tentang kekhawatiran mendalam atas diri seseorang terhadap datangnya hujan. Hujan yang tak pernah meminta izin untuk turun sebab hujan juga diturunkan atas izinNya. Gemuruh mengglegar tak pernah mengerti bahwa ada yang tak sanggup mendengarnya. Apalagi trauma banjir telah membuatnya pasrah dan selalu meminta keadilan sang Pencipta hujan.

Baginya, rumah adalah tempatnya bernaung dari keramaian dan kesibukan dunia nyata. Di rumah tempatnya merangkai sejumlah huruf untuk dijadikan sebuah cerita maupun berita. Tetapi ketika hujan datang, ketakutannya menjadi-jadi. Khawatir banjir itu datang lagi. Menenggelamkan ketenangannya pada sebuah makna rumah.

Seringkali dirinya marah pada siapa saja yang dilihatnya. Merasakan bahwa keberadaan orang-orang di sampingnya seakan percuma. Tetapi, kembali nalarnya berubah pada bentuk kepasrahan yang amat sangat, bahwa hujan mendatangkan banjir bukan keinginan siapapun.

Facebook
Twitter