“Innalillah! Bayi? Bayi apa? Kapan lahirnya kok tiba-tiba sudah ada jenazahnya? Kapan Rim hamil?” Mbah Mis memberondong Net dengan pertanyaan-pertanyaan yang tiba-tiba memberondong kepalanya.

Suasana riuh di pagi hari. Mbah Mis buru-buru menghabiskan sarapan. Net masih saja duduk termenung dengan tatapan kosong pada piring makan yang juga kosong tak berisi nasi. Tak menjawab satupun pertanyaan Mbah Mis. Hatinya berkecamuk. Rasa tak percaya akan Rim, wanita yang sangat dipercayai dan dicintainya memiliki bayi lalu kini meninggal dunia.

“Net, kenapa diam? Kamu dengar Mbah, tidaaak?” Suara Mbah Mis menghentak Net yang hanyut dalam lamunan kenangan masa lalunya bersama Rim.

“Mbah, Net juga tidak tahu. Net bingung, shock dengar berita ini.” Net berlalu meninggalkan meja makan.

Net berpisah negara dengan Rim. Tugasnya di Singapura membuat jarak menjadi penghalang hubungan cinta mereka. Komitmen dan keyakinan satu sama lain membuat Net tak resah meninggalkan Rim. Bahkan Net sudah merencanakan akan mengajak Rim berbulan madu di  negara tersebut tahun depan. Tujuh bulan bukan waktu yang lama. Untuk hamil mungkin akan terasa begitu cepat.

***

“Halo, Rim. Jelaskan padaku, apa maksud semua ini?”

“Maafkan aku, Net. Aku mencintaimu.”

“Tidak usah mengatakan cinta padaku karena pengkhianatanmu sudah sangat menyakitkan aku. Kapan kamu menikah? Mengapa tak bilang padaku?”

“Menikah? Maksudmu apa?”

“Lho, kenapa kamu balik tanya padaku? Bukankah kemarin baru saja bayimu meninggal? Mbah Mis sampai sekarang shock dengan berita itu.”

What? Bayiku meninggal? Aduh, sepertinya kamu salah paham, Net.”

“Salah paham bagaimana, Rim? Sejak kemarin aku terus menghubungi kamu tetapi nomor ponselmu tidak aktif. Detik ini baru bisa dihubungi.”

“Hmmm… sebelum aku jawab pertanyaan kamu, mohon jawab dulu pertanyaanku, boleh?”

“Boleh, siapa takut.”

“Kamu percaya aku yang punya bayi itu?”

“Jujur, Rim. Aku sampai saat ini tak percaya tetapi Simon yang mengatakan padaku.”

“Astaga, Simon si Gemuk itu? Kamu percaya dengan semua yang dikatannya?”

“Bagaimana aku tidak percaya, Simon menunjukkan foto kamu yang sedang hamil. Sudahlah, Rim. Jelaskan saja padaku mengapa kamu begitu tega mempermainkan perasaanku. Aku baru pertama kali jatuh cinta dan ingin kuluruskan niat ini dengan melanjutkannya di pelaminan. Tetapi, kamu tega, Rim…” Net kesal karena Rim berbelit-belit. Ditambah lagi Mbah Mis selalu saja menyerangnya dengan pernyataan-pernyataan yang menyalahkan Net memilih wanita.

“Untung saja belum menikah, Net. Hampir saja keluarga kita malu.” Ucap Mbah Mis sambil melipat pakaian Net dengan wajah murka dengan ulah Rim.

Lima belas menit kemudian…

“Mbah Mis, Net… sebenarnya bayi meninggal itu bukan anak Rim. Tetapi saudara kembar Rim, Rimaya. Maaf kalau tidak pernah cerita sebelumnya. Rimaya itu saudara kembar Rim. Simon, suami Rimaya, menjadi marah karena tahu kalau Net berniat melamar saya tahun depan. Simon gelap mata dan menusuk perut Rimaya dengan gunting hingga kemudian si cabang bayi meninggal dunia. Simon dan Rimaya memang pergi menjauh dan menghilang dari keluarga  sejak menikah. Sejak itu kami lost contact. Saya tidak tahu kalau Simon sudah sering bertemu Net.”

“Jadi, foto ini bukan kamu?”

“Bukan, Net. Itu Rimaya. Di rumah, aku memang sering dipanggil “Rim” karena menghilangkan kerinduan Bapak dengan mbak Rimaya.”

“Jadi, namamu siapa?”

“Namaku Rinaya”

Facebook
Twitter

Related Posts

7 Responses

  1. Agak gak bisa dipercaya. Kenapa Simon marah kalau Rim dilamar ? Lalu kenapa yang ditusuk malah istrinya?
    Kasihan Rimaya 😐

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *