Sebagai manusia biasa, tentu akan memiliki reaksi yang berbeda-beda ketika menghadapi sebuah potret tantangan kehidupan. Karena masing-masing sudah dibekali akal untuk mengelola setiap rasa yang sedang dihadapi. Tidak terlepas jika rasa itu adalah rasa kesal atau marah
.
Saya lahir dan dididik dari keluarga yang bersuara keras dan temperamental. Jika ada yang keliru, maka hampir semua person yang ada di keluarga saya (maksudnya para tetua, setingkat mama dan bapak) cepat terlihat emosi. Hal sedikit saja bisa menjadikan emosi yang meluap-luap. Eits, tetapi ini bukan karena kami dari suku Bugis-Makassar lho ya. Soal suku tidak ada kaitannya sih kalau menurut saya tentang sikap emosian ini. Suku manapun jika memang diberikan watak seperti itu, yaa tidak bisa meng-general-kan semua orang yang berada sama satu suku.
Nah, dengan kondisi lingkungan saya yang dari awal sudah keras secara otomatis terbawa juga dalam diri saya. Hingga kemudian saya duduk di bangku kuliah, saya melihat banyak karakter orang. Mulai dari teman sendiri hingga jajaran dosen pun ternyata ada yang secepat kilat memberikan tanda tidak senang dan akhirnya berakibat pada masa depan mahasiswanya.
Ego? Tentu. Namun, semuanya akan baik-baik saja jika mampu mengendalikan egoism tersebut. Tak perlu mengajak orang untuk memahami kita, cobalah sejenak kita yang berdiri pada posisi kita yang memahami orang lain. Menurut orang pintar dan memang seperti itu yang dianjurkan dalam agama masing-masing, bahwa ketika terbawa nafsu amarah, sejatinya diri kita sedang dipermainkan oleh setan. Para setan akan menari dan tertawa ketika melihat manusia yang dengan emosi sehingga melakukan hal di luar kendali.
Saya pun pernah merasa kesal dan marah pada seseorang. Kasusnya adalah saat saya sedang menjadi pengajar di salah satu bimbingan belajar. Saat itu, bimbingan belajar sedang mengadakan lomba mata pelajaran dan saya kebagian membuat soal IPA Kimia tingkat SMP dan Matematika tingkat SD hingga SMA. Bersama tim khusus, saya melakukan pembuatan soal. Kami ada 3 orang dalam tim. Dan satu-satunya perempuan adalah saya sendiri.
Lalu apa yang membuat saya kesal dan marah? Sederhana sih tetapi sangat mengganggu harga diri tim kami. Saat pembayaran fee, saya tidak mendapatkan hak tersebut sampai detik ini. Alasannya sangat tidak masuk akal dari pimpinan, yaitu soal yang kami serahkan katanya soal curian dari bimbingan lain.
Duh, mendengar ucapan pimpinan seperti itu, saya protes namun tersampaikan pada isteri pimpinan karena saya masih kenal dengan isitrinya. Saya mengatakan bahwa dimana-mana soal mata pelajaran itu akan sama model pertanyaan dan juga cara menjawabnya, tetapi lihat dulu konteks kalimat dan poin yang diinginkan dalam soal tersebut. Namun, pimpinan tetap tak bergeming. Saya tetap tidak dibayar dan akhirnya saya melangkah untuk resign.
Saat itu saya hanya bergumam seperti ini: “Semoga kelak bimbingan ini tetap ada ketika saya pulang ke kampung halaman nanti.” Dan ternyata tidak seperti itu. Saya tidak lagi menemukan bimbingan itu. Bahkan menurut kabar, beberapa musibah menghampiri keluarga mereka. Aduh, sungguh saya jadi berpikir sendiri apakah salah satu hal yang menjadikan seperti itu karena sifat dan sikap pimpinan yang menyakiti orang lain, contohnya saya. Namun, saya cepat-cepat ber-istighfar karena saya tidak ingin justru Allah memindahkan kondisi mereka ada diriku karena masih merasa kesal meski sudah bertahun-tahun. Maka seketika itu juga kemudian saya mengatakan, “Baiklah ya Allah, saya coba memaafkan semua kesalahan mereka. Saya berusaha menerima perlakukan mereka.”
Ya, saya tidak mampu menemui mereka langsung karena jarak rumah mereka pun terbilang jauh. Lagipula saya sudah tidak paham sekarang ini mereka tinggal dimana. Ada media sosial dan telepon tetapi nihil. That’s why saya sudah pasrahkan padaNya. Memaafkan dalam diam agar hati saya juga tenteram sehingga setiap pulang ke kampung halaman, saya tidak terbebani rasa kesal lagi.
***
Belajar dari kasus tersebut, saya kemudian pelan-pelan berusaha mempelajari karakter orang lebih banyak lagi. Saat ini saya dikelilingi oleh teman-teman yang berbeda jauh satu sama lain. Ada yang asal njeplak, sering bermuka masam, bahkan ada yang dengan sengaja tidak mengajak saya berteman lagi. Alasannya, saya sudah terlalu banyak mendapatkan hasil dari apa yang saya kerjakan sehingga dianggap akan mematikan rezeki orang lain. Haha… ini sangat lucu sekali, makanya saya bawa santai sekarang.
Bahkan berusaha senyum seikhlasnya pada orang yang mengesalkan dalam bentuk apapun. Bisa? Harus bisa!
6 Responses
Perbedaan yang melengkapi justru menjadi solusi atas sikap diri ya Mba 🙂
Betul, Teteh…
Berusaha menjadi lebih baik dalam bersikap karena usia juga sudah makin banyak dan sisa hidup makin sedikit. Nggak mau nambah musuh…
mematikan rezeki orang? hahah diguyu tok ae mba.. mungkin yang bilang itu lagi iri mba..
Duh sedih dengernya ya Mbak. Seperti kata pepatah, siapa menanam dia yang menuai. Menanam hal baik, Insya Allah hasilnya akan baik juga.
nyengier ajahhhh mbak…
pasti bisa!