Twinkle twinkle little star…
How I wonder what you are…
***
Satu dua tiga empat lima enam tujuh delapan
Siapa rajin bersekolah cari ilmu
Sampai dapat
***
Itulah potongan lirik lagu masa kecil yang paling saya ingat. Sampai detik ini masih melekat. Berjuta kenangan masa kecil yang mayoritas punya kenangan manis dengan sosok bapak. Yap, bapak yang memang selalu ada di samping saya. Bagaimana dengan ibu saya? Oh, beliau juga ada hanya saja intensitas kebersamaan dengan keduanya, lebih banyak dengan bapak. Mungkin karena bapak adalah tenaga pengajar. Dekat dengan anak-anaknya bahkan selalu memberikan pelajaran itu wajar. Namun bagi saya bapak memang orang yang paling sabar. Selalu menerima reaksi berbeda saat mengajari dan mendidik anak-anaknya. Maklum, di otak kami hanyalah main dan tertawa.
Lahir dengan bapak seorang pendidik memang nyaman. Saya selalu punya banyak buku bacaan. Bahkan saat masih duduk di bangku kelas 5 SD, saya sudah membaca buku anak SMP. Bapak tidak marah atau melarang saya. Beliau hanya bilang sebaiknya baca buku SMP jika semua buku-buku SD saya waktu itu sudah dibaca dan dipelajari.
Sembari belajar, bapak selalu memutar kaset lagu di atas. Memberi semangat sehingga saya seringkali sudah tidak nyaman jika waktu istirahat tiba. Saya selalu ingin berlama-lama belajar. Meskipun hanya sebatas melihat gambar sebuah buku dari halaman demi halamannya.
*Usia 5 tahun sudah diminta bapak menghafal minimal 5 vocabs baru sehari lalu disetorkan setiap malam.
Namun, di balik semua itu saya bukan tipe anak yang dibebaskan bermain di luar rumah bersama teman. Kalaupun akan bermain, teman-teman yang harus datang ke rumah. Itu pun harus ingat waktu juga. Nggak boleh sembarang datang dan minta saya ikut bermain. Dikekang? Boleh dibilang “iya”. Dan saya masih ingat bagian paha saya membiru karena bekas dicubit oleh nenek (dari ibu).
Ceritanya sepele. Saya saat itu kebetulan pulang sekolah lebih awal karena ada rapat guru. Pikirku, bapak akan menjemput sesuai dengan jam yang biasa. Saat itu belum kenal smartphone. Akhirnya saya ikuti ajakan teman untuk sejenak bermain di taman bermain sebuah taman kanak-kanak (TK). Lokasinya pun sangat dekat. Hanya menyeberang jalan saja. Saya pun dengan mata berbinar memainkan semua permainan yang ada.
Bahagia tinggal bahagia. Senyum ceria harus berganti ketakutan seketika. Nenek secara kebetulan lewat dengan menggunakan becak. Nenek melihat saya yang sedang asyik bermain. Nenek pun dengan muka garangnya langsung memanggil saya dan mencubit saya mulai dari saat saat saya berusaha turun dari ayunan lalu naik ke becak bersamanya.
Saya pikir cubitan akan dilepas saat di atas becak. Ternyata tidak. Tangan nenek masih terus melekat hingga kami tiba di depan rumah. Kebayang kan sakitnya? Membiru dan sedikit terkelupas lho kulit saya. Itulah hukuman saya saat itu. Menangis dan akhirnya terdiam seribu bahasa terjadi pada saya. Bapak yang tahu kejadian tersebut menangis karena paha saya sudah membiru. Tetapi bapak bisa apa? Tidak ada. *Pssst… jangan tanya kenapa bapak saya Cuma bisa diam ya, hehe…
Nah, itulah masa kecil yang paling teringat sampai sekarang. Kalaupun ada hal lain, saya sangat bersyukur dicekoki bahasa Inggris sejak kecil. Karena sekarang manfaatnya sangat luar biasa. Dengan ilmu bahasa Inggris yang langsung turun dari pola didikan bapak, saya bahkan waktu kuliah bisa jajan dan bayar diktat-diktat tebal dari hasil translating. Bahkan saya sempat diundang oleh sebuah lembaga pendidikan untuk menjadi guide di Bantimurung saat ada siswa (i) dari Australia berkunjung ke tempat wisata tersebut. Dan saat itu saya masih duduk di bangku kelas I SMA.
Yap, andai tidak serius menyerap dan mempraktekkan ilmu yang diberikan bapak pada saya saat masih kecil, entah bagaimana kehidupan saya kini.
Ini cerita masa kecil saya. Punya cerita yang sama, bolehlah di-share…
One Response
Didikan bagus dari orang tua kita rasakan setelah kita dewasa. Waktu kecil didikan itu kita rasakan berat, kok ortu kejam, 🙂 Disaat anak lain bebas bermain sementara kita harus kerja keras belajar ini itu. Tapi manfaatnya kita rasakan sekarang setelah dewasa: disaat yang lain pontang-panting kita menikmati hasil kerja keras waktu kecil.
Tulisan bagus, keren.