Kisah Pajak Resto dan Hidup di Kota Surabaya

pajak restoran di surabaya

Kisah Pajak Resto dan Hidup di Kota Surabaya – Menjadi pendatang memang selalu saja ada banyak hal yang bisa dibagi lewat cerita. Apalagi jika menjalani kehidupan ini di kota terbesar kedua setelah Jakarta. Ikut menjaga dan melestarikan kota sudah menjadi kewajiban setiap warga. Dan pajak menjadi salah satu jalannya.

Saya masih ingat betul bagaimana awal bisa berada di kota Surabaya ini. Ditakdirkan menikah dengan laki-laki yang sudah merasakan suka duka selama hidup di Surabaya, membuat saya tidak pernah menyesal mengenal kota Pahlawan yang terkenal di dunia sejak dipimpin Walikota Tri Rismaharini.

Tertata. Kesan pertama yang muncul di dalam hati dan mata. Meskipun dari segi interaksi satu sama lain, saya masih harus menyesuaikan pemahaman Bahasa.

Pengalaman Bayar Pajak Restoran

Selama di Surabaya, saya hidup di kontrakan sederhana. Sehingga jika ditanya soal pajak, saya tidak akan memberikan pengalaman membayarkan Pajak Bumi dan Bangunan, sebab itu bukan wewenang saya dan keluarga. Ditambah suatu hari saya bertanya dengan suami:

“Ayah, pajak motor dan STNK sudah dibayar belum?”
“Belum. Kenapa?”
“Kalau mau ke SAMSAT, bunda ikut ya.”
“SAMSAT mana? Kertosono?”
“Bukan. Surabaya dong ah. Kita kan hidupnya di Surabaya.”
“Iya, sayang paham. Tetapi untuk bayar STNK motor ayah harus di kota Kertosono karena buatnya di sana.”
“Lho, nggak bisa di Surabaya bayarnya? Coba cari info gih. Kita nggak bisa pulang di tengah situasi seperti ini lo. Pergerakan wabah Covid-19 masih menakutkan juga.”
“Nanti coba saya tanya teman. Siapa tahu bisa memudahkan.”

Dan sampai sekarang pun saya masih menunggu jawaban dan semoga dipermudah membayar pajak STNK motor di Surabaya tanpa harus ke Kertosono.

Namun, selama di Surabaya saya bisa menikmati fasilitas dan penawaran kenyamanan dari berbagai hotel dan restoran, itulah jalan saya memberikan sedikit sumbangsih soal pajak.

Kisah Pajak Resto dan Hidup di Kota Surabaya 1
Habis “me time” di salah satu resto hotel di Surabaya

Kok bisa gitu?

Ya, tentu. Bukan rahasia lagi ketika makan di beberapa restoran tertentu atau hotel selalu ada “biaya tambahan” dalam setiap struk pembelian. Dan itu juga berlaku di Surabaya. Service &Tax menjadi bagian yang selalu akan tertulis dengan nominal tertentu, sesuai dengan keseluruhan pembelian.

Pajak Restoran selalu menjadi bagian dari pengeluaran ketika makan di restoran, baik itu untuk meeting dengan client yang akan menggunakan jasa menulis saya, atau saat saya hanya sedang ingin me time dengan jalan makan dan minum menu yang tak biasa di sebuah restoran terkenal di Surabaya.

pajak restoran di surabaya

Menikmati segelas milk shake dan sejenak melupakan hiruk-pikuk rutinitas sebagai full mommy blogger di salah satu restoran, baik restoran yang berdiri sendiri atau yang ada di dalam hotel, itu sudah kepuasan tersendiri.

“Nggak sayang uangnya, Mbak?”
“Hmm… saya pribadi menganggapnya sebagai bentuk partisipasi membangun kota Surabaya dengan ikut membayar pajak restoran agar lebih baik pelayanannya ke depan.”

Setidaknya itu jawaban sederhana saya ketika teman selalu bertanya tujuan melakukan me time yang terlihat aneh itu.

Beli Makanan di Mall juga menjadi salah satu jalan untuk bayar pajak di kota Surabaya. Karena Surabaya banyak sekali mall dengan berbagai jenis food tenant yang menjajakan aneka makanan dan minuman kekinian dan pastinya sebagian ada yang enak di lidah saya.

pajak restoran di surabaya

Saya sering menjadikan makanan sebagai oleh-oleh pulang ke rumah ketika bertemu anak sulung yang masih usia 5 tahun. Harga yang saya bayarkan tidak akan pernah sebanding dengan kebahagiaan yang tercipta di wajah anak. Maka meskipun harus membayar Pajak Resto yang sebagian nominalnya berbeda, tetapi mayoritas di angka 10%.

Dan masih banyak lagi pengalaman makan di restoran dan membeli makan di toko makanan yang dikenakan pajak resto dan dibebankan kepada pembeli.

Mengapa Harus Bayar Pajak?

“Apakah bayar pajak resto berarti sudah membangun kota Surabaya?”

Ada teman saya bertanya seperti itu. Jawaban saya, ya. Sekecil apapun nominal yang dibayarkan dalam bentuk pajak jika dilakukan lebih sering dan orang lain pun begitu, kota bukan hanya Surabaya yang maju, tetapi karyawan yang bekerja pada restoran tersebut juga bisa terbantu.

Seringkali saya mendengar seperti ini:

“Tidak usah makan di situ, ada pajaknya.”

Kalimat itu sudah mulai sering terdengar di telinga saat duduk di bangku SMA. Lalu, saya pun mencari tahu soal pajak. Mengapa ada yang begitu phobia dengan pajak. Coba perhatikan perkataan ibu Sri Mulyani di bawah ini:

“Pajak sebagai kontrak antara negara dengan rakyatnya untuk menjaga negara yang berdaulat dan bersatu. Kemudian negara hadir menyiapkan yang diharapkan masyarakat.”

pajak restoran di surabaya

Nah, sudah jelas bahwa membayar pajak itu harus karena:

  • Sebagai pembangun negara; mungkin tidak banyak yang memahami bahwa sejatinya negara ini dibangun oleh pajak-pajak yang kita bayarkan selama ini. Pemerintah di atas sana hanya bertindak sebagai pelaksana. Hasil dari pajak yang kita bayarkan tersebut oleh pemerintah disulap menjadi sarana dan prasarana yang dibutuhkan yang pastinya untuk kemaslahatan orang banyak juga. Meskipun memang alurnya terasa lambat dan tidak serta-merta setelah membayar pajak hari ini lalu keesokan harinya ada fasilitas baru yang disediakan. Tentu butuh proses dan waktu.
  • Ada kontrak kita dengan negara; ini juga banyak yang belum memahami dengan baik.Pelayanan yang terbaik dari pemerintah itu datang dari kita yang membayar pajak ke pemerintah. Kemudian, pemerintah memakai pajak tersebut untuk membangun berbagai fasilitas yang kita butuhkan. Jadi sudah seperti kontrak yang berjalan alami.

Tidak akan rugi mengeluarkan biaya tambahan ketika makan di restoran karena biaya tersebut merupakan pajak dan akan disetorkan ke negara. Setelah itu, berikan kesempatan pemerintah menjalankan kewajibannya untuk menyediakan fasilitas terbaik di kota Surabaya ini.

Saya pun jadi ingat sebuah negara dengan pajak tertinggi di dunia. Masyarakatnya hidup aman dan sejahtera. Ya sesuai dengan pepatah Jawa onok rego onok rupo. Dan saya punya mimpi hidup di kota Surabaya dengan kondisi seperti itu, dimana masyarakatnya taat pajak dan pemerintah kota Surabaya juga lebih jujur dalam mengelola pajak.

***

Well… tak banyak harapan yang bisa terlontarkan dari mulut ini. Saya hanya berharap Surabaya selalu menjadi kota yang disenangi. Apalagi bagi pendatang seperti saya yang menjalani kehidupan bersama keluarga kecil dengan kemampuan yang dimiliki. Dan menikmati segala hal yang ada di Surabaya, tentunya tak akan terlepas dengan pengelolaan pajak yang baik dan disiplin diri.

So, sudah bayar pajak apa saja selama di Surabaya, rek?

Facebook
Twitter

Related Posts

22 Responses

  1. mbak, aku malah jadi bingung. emang ada restoran yg ga masukin harga sama pajak?kecuali jajan di luar yg pinggir jalan gt yaa 😀

    btw aku tuh suka loh sama surabaya, baguuuus banget dan tertata rapi plus bersih. cuma suka kultur shock aja kalo ke mall bagus 😛

    1. Lahhh, bukannya di Jogja mall-nya juga keren keren mbaaa?
      Aku sueneengg ke Jogja City Mall

      Buagusss ngga kira2

  2. Semoga pajak yang kita bayar bisa digunakan dengan tepat. Aku gede juga sih bayar pajak. Dari penghasilan dipotong 15% per bulan

  3. Yashhh BANGGA BANGET jadi arek Suroboyo.
    Semogaaaa nantinya penerus Bu Risma bisa mewarisi metode kepemimpinan beliau dgn ciamik.
    termasuk urusan pajak ini

  4. Ke Surabaya lewat doang dan bayar tol aja. Jadi gak bayar pajak. Kalau aku karena jarang makan di restoran, paling bayar pajak saat belanja sih. Ada kadang berapa gitu

  5. Masih ada ya retso yang gak ada pajaknya? Setahu saya, biasanya resto ada yang memang harga menunya belum termasuk pajak. Nanti di bill baru dihitung. Tetapi, ada juga yang include pajak. Makanya mungkin suka disangka gak pakai pajak.

  6. Wah bahas dunia pajak jadi ingat jaman kuliah mbak, bertahun2 kuliah sama kerja di dunia perpajakan. Memang kalau di restoran itu pungutannya untuk pajak daerah mbak. Memang setiap resto akan mengenakan tersebut untuk setiap pengunjung.

  7. Setuju, nggak ada salahnya bayar pajak restoran. Toh juga nggak saban hari makan di resto. Aku makan di resto kadang pas tanggal muda atau lg pgn nyarik suasana beda aja. Trus di samping itu nominalnya juga nggak besar koq. Yuk ikuti langkah mbk amma yg semangat bayar pajak resto.

  8. Saya sering makan di resto idola yang ada pajaknya, kwkwkw nggak sebut merek
    tapi ya nggak masalah, namanya juga aturan pemerintah dan kita tinggal di sebuah negara
    toh nanti pajak dikembalikan ke kita.

  9. Iya semoga uang pajak dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk kepentingan rakyat.. Paling sebel deh kalau ada yang korupsi ngabisin uang negara.. padahal kan uangnya dari pungutan pajak rakyat jelata…hehehe

  10. Kalau melihat negara-negara maju yang penyaluran pajaknya bisa balik ke rakyatnya lagi seneng loh. Jumlah yang harus mereka bayar untuk pajak lumayan juga, namun seimbang dengan pelayanan dari pemerintah di segala sektor bagi rakyatnya. Semoga Indonesia bisa gitu juga ya, jadi rakyatnya bisa ‘ikhlas’ menambahkan sekian persen untuk pajak.

  11. Salut deh mba dengan kesadaran pajaknya, tapi sebagian orang agak apatis soal pajak karena takut digunakan secara tidak tepat. Tapi dari berita Surabaya kota Teladan dalam hal pembangunan. Semoga juga kota yang lain menirunya

  12. apalagi semenjak pemimpinnya Bu risma, huhu makin keren aja surabaya,kadang suka envy sama temen temen yang tinggal di surabaya, apalagi taman bunga yang pink pinky itu mba ya ampun cantik banget asli surabaya keren

  13. Pajak resto ini klo gasalah emang masuknya ke kas daerah jadi bisa buat ngembangin kota Surabaya. Yg aku pelajarin sih gitu..

    Keren nggak kebanyakan sambat. Klo ga mau kena pajakjgn makan disana gitu kak. Hehe..

  14. Dulu aku suka sebel kalo makan, di bill tertulis pajak. Tapi setelah ngerti, dan ngerasain banyaknya fasilitas umum yang aku nikmati, gak rewel lagi. Ini demi kita-kita juga ya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *