Ketika “Like” Tak Kunjung Bertambah sengaja menjadi postingan saya kali ini. Terserah kepada para pembaca menilai tulisan ini. Tetapi semua berdasarkan pengamatan di lapangan.
Fenomena kontes di dunia maya entah itu di blog, facebook, twitter atau di media sosial lainnya, memberikan syarat “like” sebagai salah satu unsur penilaian. Maka berbondong-bondonglah beragam brand menguji kemampuan para pecinta kontes (seperti saya 😀 ) dengan menggelar sebuah kontes. Baik itu kontes menulis, foto atau lainnya. Namun, yang menggelitik saya adalah persyaratan bahwa “like” terbanyak akan menjadi pemenangnya, utama atau favorit.
Tidak salah. Yah, saya sama sekali tidak menyalahkan persyaratan itu kemudian menjadi sayarat. Saya hanya sangat menyayangkan bahwa betapa banyak yang sulit mengikhlaskan atau menyumbangkan “like”-nya untuk mendukung orang lain. Apakah iri? Malas? Tidak peduli? Atau mungkin akan keluar kalimat Who are you? (baca: Siapa kamu?). Hmmm… jika itu memang kenyataannya, benar-benar sangat memprihatinkan.
Sudah sepekan ini saya mengamati beberapa rekan yang mengikuti kompetisi dan harus mengumpulkan sejumlah “like” untuk menang. Cara yang digunakan juga cukup sederhana, yaitu meminta dukungan di beberapa grup yang diikuti bahkan disebar melalui Timeline FB sendiri. Dari sekian banyak teman yang berada dalam grup tersebut, tidak sampai 5% dari anggota memberikan dukungan.
Yah, semua orang memiliki hak untuk memberikan “like” yang dimilikinya. Begitupun sebaliknya, cuek saja dan tidak peduli. Tetapi, pernahkah terpikir bahwa suatu saat akan mengikuti hal yang sama? Lantas mengapa “like” itu sulit sekali? Bergumam sendiri tanpa jawaban.
Mungkin ini teguran buat saya pribadi agar lebih peka dengan sekeliling. Sebab, tidak menutup kemungkinan saya juga akan mengalami hal demikian. Tidak di “like” meskipun dengan teman yang sudah akrab. Bagaimana dengan yang tidak akrab atau kenal? Kemungkinan besar sudah “ogah” memberikan jempolnya. Tetapi semua saya kembalikan lagi pada pribadi masing-masing orang. Sekaligus mencerminkan bahwa ego manusia memang jelas adanya. Inilah kemudian yang menjadikan sekelompok orang membuat aplikasi “autolike”. Dengan harga tertentu dapat mendatangkan jumlah “like” sekian ratus bahkan ribuan. Mencari kesempatan dalam kesempitan namun tak memberikan makna. Dan jangan pernah menyalahkan keberadaan hal seperti itu karena semua lahir dari manusia sendiri. “Autolike” dijadikan media dan jalan pintas bagi yang putus asa.
Hmmm… Semangat terus buat teman-teman yang mengikuti kompetisi “like” terbanyak. Jangan pernah patah semangat hanya karena ketika “like” tak kunjung bertambah.
6 Responses
Hmmm… Memang sih, “Like” bisa jadi satu alat marketing. Ataupun sebagai alat untuk pamer. Tapi, apapun itu kalau “Like” nya juga nggak ikhlas, menurut saya juga tidak berhasil.
@Rizqi Fahma,
iya juga sih
tapi ga ada salahnya me”like siapapun yang meminta jika memang tidak ada ruginya 🙂
dulu tuh yg sering bantu teman gitu, senang jg sih klu mereka jd menang ^^
tp klu sekarang sudah jarang cek status, banyakan main game sih hehe… tp klu misx sempat baca dan ada teman mt tolong yah sudah dibantu saja khan gak repot juga ^^
Betul tuh mba..
Saya “Like This” deh buat postingannya ^^
Salam kenal, Mba..
@Arum Wulandari,
hehehe makasih mbak Arum 🙂
Terkadang saya tercenung, betapa tak adilnya kontes semacam ini, bayangkan, misalnya kontes foto, walaupun ada peserta dengan foto yang sangat bagus, fiting menarik, pencahayaan yang pas, penuh pesan, dll, tapi kalo like-nya sedikit, tetep saja kalah, tentu berbeda dengan foto biasa yang hanya dibuat dengan asal-asalan tapi bisa menjadi pemenang, dengan si pemilik akun punya modal fanspage dengan ribuan follower atau komunitas yang dengan mudah bisa mendukung perolehan like….
Kalo dipikir-pikir, itu tidak cocok disebut sebagai kontes foto, tapi kontes viral… Karena Foto yang dilombakan hanya memegang kendali sepersekian persen untuk pemenangan….., selebihnya, ya like-nya itu…..