Tulisan ini diikutkan pada 8 Minggu Ngeblog bersama Anging Mammiri, minggu kelima.
Cinta yang tak pernah mati selalu kutumbuhkan pada sosok yang kini sudah tiada. Bukan karena dia lelaki pertama yang kulihat. Bukan pula karena hadirnya yang selalu menemani. Tetapi semua karena ketulusan hatinya dalam mendidikku hingga menjadi seperti sekarang.
Aku bahkan tidak pernah tahu tepatnya waktu hingga mengaku menjadikan sosoknya sebagai cinta pertamaku. Pastinya, rasa itu tumbuh dan tidak pernah mati meskipun raga tak lagi mampu bersua.
Aku pun baru memahami itu cinta tatkala kudapati air matanya menangisi kelakuanku. Aku ingat sekali ketika aku hampir terjerumus pada lembah kesalahan karena terlalu berlebihan menjalanlankan agama Islam yang kuyakini. Bahkan yang masih berstatus satu darah denganku saja, aku bahkan seolah tak peduli. Karena aku fokus memperbaiki diri tetapi tidak memperbaiki habluminannaas (hubungan sesama manusia). Padahal hubungan dengan Allah akan baik ketika hubungan dengan sesama manusia juga baik.
credit
Aku sudah seperti bukan lagi salah satu anggota keluarga. Semua kuanggap berdosa karena tak memfokuskan diri kepada pensucian diri. Tak jarang aku selalu mengeluarkan kata-kata istighfar karena melihat sekelilingku jauh dari agama yang seharusnya (menurut pandanganku yang sempit). Dan sejak itu, tak jarang aku mengalami pemberontakan batin yang terlihat oleh sikapku yang ekstrim sendiri.
Melihat itu, sosok pria yang kucintai tersebut berusaha membuatku kembali berpikir rasional dan jernih kembali. Mencoba mengembalikan pemahamanku yang terlalu “bengkok” untuk diluruskan kembali sebelum terlambat. Dan disitulah aku mendapati air matanya di setiap sujudnya. Bahkan aku pernah mendapati tangisannya di tempat tidur ketika melihatku sibuk dengan urusanku sendiri, memperbaiki diri.
Dengan cinta yang diberikan tulus kepadaku, sosok pria ini selalu mengikutiku bahkan sering memenuhi permintaanku. Jika aku kekurangan ongkos transportasi dari rumah ke kampus, maka dengan langkah cepat tangannya memasukkan beberapa lembar ke dalam tasku. Maklum, sejak kuliah, aku mengusahakan sendiri biaya transportku. Apalagi ketika kuliah di jenjang magister. Biaya kuliahnya terlalu mahal sehingga aku tidak ingin merepotkan dari segi transport. Tetapi sosok pria ini tidak peduli, tangannya tidak pernah berhenti memberikan uang transport tanpa sepengetahuan pasangannya (baca: Mama).
Tidak hanya itu, aku ingat sekali, sejak kecil sosok pria ini selalu menghabiskan banyak waktu untuk mengajari dan mendidikku. Mulai dari perhitungan hingga bahasa asing. Jadi wajar saja jika usia SD, aku sudah bisa bercakap bahasa Inggris dengan siapa saja. Hasil pengorbanan waktunya juga tidak sia-sia karena setiap penerimaan raport, namaku tak pernah absen dari juara kelas. Air mata bahagia sosok pria ini terlihat dengan jelas bahkan dalam pelukan hangatnya, yang kini entah kudapatkan dimana.
Aku juga suka menulis karena cintanya pria tersebut pada kegiatan positifku sejak bisa menulis abjad. Beranjak waktu, pria ini kemudian melatihku menulis dengan membeli sebuah “diary” untukku. Sejak saat itu aku suka menulis hingga ada satu puisi yang jebol di media waktu aku duduk di bangku SMA. Lagi-lagi semua itu memberikan rasa yang begitu tak biasa diantara aku dan dia.
Mengenang masa-masa itu, aku tak lagi melihat air matanya jatuh. Justru aku hanya memandangi air mataku jatuh di pusaranya. Tahun 2010 silam, cintaku pergi dalam jasad yang begitu harum. Aku tak lagi bisa memeluknya sehangat pelukannya dulu. Aku melepasnya dengan diam tetapi ada rasa sesak yang mengganggu di dada…
Dia… cinta pertamaku… rasa yang baru kupahami setelah aku memahami bahwa hadirnya begitu berarti. Namun ada Dzat yang Maha Mencintai yang lebih berhak atas diri cintaku itu… I love you, daddy… First Love never die…
2 Responses
cinta pertama yg luar biasa… #menahanairmata
@taufan,
iya kakak
cinta yang kini tinggal doa :'(