Buat Perpisahan Sekolah Jadi Berbeda – Sebenarnya saya khawatir jika ini bukanlah hal kreatif di mata pembaca. Tetapi seingat saya, momen ini adalah pertama kalinya terjadi di angkatan saya. Ya, saat duduk di bangku SMA, tepatnya kelas III yang pada waktu itu akan menjalani masa perpisahan dengan adik kelas dan para guru, saya didaulat menjadi bendahara pengumpulan dana perpisahan seangkatan saya. Seluruh siswa kelas III harus mengumpulkan dana perpisahan kepada saya dengan tenggat waktu yang sudah ditentukan.
Dana yang dibebankan kepada seluruh siswa kelas III memang sudah sesuai dengan keputusan rapat antara tim perpisahan (yang beranggotakan guru dan staf sekolah) bersama dengan orang tua siswa kelas III tentunya. Dan keputusan teman-teman seangkatan (melalui wakil-wakil tiap kelas) menyetujui saya sebagai bendahara. Maka jadilah saya harus memikirkan cinderemata apa yang harus diberikan kepada guru dan staf sebagai kenang-kenangan.
Tentunya kami saat itu tidak ingin kenang-kenangan hanya sekadar kenangan. Kebermanfaatan cinderemata tersebut adalah yang terpenting. Mengingat juga bahwa latar belakang guru dan staf pun berbeda. Jujur saja teman-teman yang menjadi wakil dari setiap kelas waktu itu sempat mengalami kebingungan dan terjadi perdebatan saat rapat internal dari seluruh wakil-wakil kelas (saat itu ada 6 kelas).
Singkat cerita, akhirnya usulan memberikan cinderemata berupa kain disetujui banyak pihak. Termasuk guru-guru yang memang sudah menantikan adanya cinderemata seperti itu. Hanya saja tak terbahasakan dan tentunya pihak sekolah pun tidak pernah ingin menyebutkan harapan apa-apa, bukan? Apalagi sampai meminta kepada siswa(i)nya.
Lantas, apa sisi kreatifnya? Oh, tenang! Bukan “kain” ini yang menjadi pilihan kreatif saat itu. Justru berada pada saat momen perpisahan dimana dihadiri oleh seluruh orang tua siswa, guru dan tamu-tamu undangan yang hadir. Momen yang membuat sebagian menitikkan air mata.
Ya, waktu itu saya mengajukan diri untuk mengisi agenda perpisahan dengan menampilkan sebuah dialog antara guru dan siswa yang akan meninggalkan sekolah (baca: tamat). Dialog itupun bukan sekadar dialog dimana dua orang duduk atau berdiri kemudian bergantian bicara di depan umum. Bukan seperti itu.
Saya meminta guru yang memang pandai berintonasi dalam berbicara untuk menjadi partner saya saat berdialog. Pun naskah yang saya baca ada sentuhan editing dari salah satu tokoh di kota saya. Beliau memang pandai beretorika, bahkan beliau adalah MC kondang untuk event bergengsi. Bahkan beliau sudah pernah membacakan puisinya di hadapan Presiden Soeharto dahulu kala.
Nah, naskah tersebut saya baca di depan podium sementara guru yang menjadi teman dialog saya harus berada di sebuah tempat yang tak terlihat. Tebaklah dimana, hehe. Pastinya masih di sekitaran sekolah. Kami berdua bersahut-sahutan layaknya orang berbicara. Tetapi kalimat demi kalimat yang kami lontarkan lambat laun membuat sebagian yang hadir dan menyimak begitu terharu. Saya sendiri menangis di atas podium karena hasil editing yang benar-benar menggugah jiwa. Ah, andai Bapak masih hidup, beliau pasti tahu dimana naskah itu tersimpan.
Awalnya saya ragu karena khawatir riuh ramai yang hadir menghalangi nada dan pesan yang ingin disampaikan dalam naskah itu. Tetapi Alhamdulillah berjalan lancar dan pastinya saya mendapat banyak jempol dari guru dan teman-teman seangkatan. Padahal saat meramu konsep ini, saya tidak bisa tidur dan selalu khawatir bakalan menjadi bahan tertawaan saat acara perpisahan. Namun, kekhawatiran itu sirna seketika. Apalagi ketika melihat Bapak yang duduk dan mendengarkan, sempat berkaca-kaca dan memeluk saya erat setelah turun dari podium. Ya, mungkin Bapak terharu sebagai orang tua siswa sekaligus guru yang merupakan profesinya sejak tahun 80-an.
Ya, itulah perpisahan sekolah yang untuk pertama kalinya berbeda menurut guru-guru saya waktu itu. Jika sebelumnya hanya penampilan seni, sambutan dan penyerahan sertifikat bagi siswa yang nilainya tinggi, maka tahun 2003 adalah perpisahan pertama yang paling berkesan.
Nah, kalau kamu sendiri pernah melakukan apa saat SMA?