“Bunda, kok sumuk banget ya?”
Kalimat di atas entah sudah berapa kali terdengar di telinga saat saya mengingatkan anak sulung untuk segera tidur siang. Ya, sejak hidup di Surabaya, kami harus beradaptasi dengan cuaca yang sangat unpredictable. Biasanya kalau siang hari panas kami maklum, tetapi panasnya tetap sama ketika ada di malam hari.
Di situ saya dan pasangan sering berdiskusi bahwa kondisi bumi sudah sedemikian berubah. Biasanya harus menunggu lama ketika mengeringkan pakaian, sekarang tidak perlu membuang waktu karena dengan kondisi matahari yang sangat terik dengan panasnya, pakaian bisa kering dengan cepat. Perubahan Iklim terjadi secara nyata.
Perubahan Iklim, Apa dan Bagaimana?
Kalau flashback ke belakang mengenai perubahan iklim, dulu saya pernah mengikuti salah satu seminar sekaligus pemutaran film dokumenter yang temanya mengenai perubahan iklim (2011). Saat itu bekerja sama dengan Goethe Institute, salah satu lembaga yang Peduli dengan Perubahan Iklim, yang mendatangkan beberapa pakar mengenai iklim untuk memberikan penjelasan makna di balik setiap film.
Film-film yang dipertontonkan mengangkat tema-tema spesifik dari mulai efek rumah kaca yang menjadi pemicu kerusakan lapisan atmosfer, ketersediaan energi, hingga kenaikan harga pangan.
Tampak berbagai kondisi yang akan dirasakan oleh manusia itu sendiri karena pola hidup yang bisa mengubah iklim secara signifikan, mulai dari pemakaian energi gas, air hingga barang-barang dari bahan yang tidak mudah diurai. Contohnya, ada film yang menunjukkan es di kutub meleleh dan memberikan dampak pada makhluk hidup yang ada di sekitarnya.
Waktu itu saya masih di Makassar dan cuaca masih biasa-biasa saja. Tidak sepanas belakangan setelah saya tinggalkan sejak 8 tahun yang lalu. Nah bagi yang masih bingung apa itu perubahan iklim, boleh disimak lagi definisi perubahan iklim menurut Wikipedia berikut:
Perubahan Iklim adalah perubahan jangka panjang dalam distribusi pola cuaca secara statistik sepanjang periode waktu mulai dasawarsa hingga jutaan tahun. Istilah ini bisa juga berarti perubahan keadaan cuaca rata-rata atau perubahan distribusi peristiwa cuaca rata-rata, contohnya, jumlah peristiwa cuaca ekstrem yang semakin banyak atau sedikit.
Perubahan Iklim yang Terjadi di Surabaya dan Solusi Pemerintah Kota
Sejak 2012 saya memutuskan untuk menetap di Surabaya. Seperti yang sudah saya gambarkan di awal bahwa panas di Surabaya masih jauh lebih tinggi dibandingkan di Makassar. Bahkan suhu sudah menunjukkan ada di atas angka 30 derajat Celsius.
Suhu 1 atau 2 angka saja di bawah 30 derajat Celsius sudah memberikan suasana gerah tak tertahankan lalu terjadi perubahan iklim hingga mencapai di atas 30 derajat Celsius, sungguh sangat terasa perubahannya.
Menanggapi hal tersebut, saya ikut berbangga karena Surabaya punya walikota dan tim yang cepat tanggap terhadap perubahan iklim yang terjadi. Salah satu solusinya yang nyata dan bisa dirasakan sampai sekarang adalah dibuatnya RTH atau Ruang Terbuka Hijau. Sudah pasti sangat tahu kalau Surabaya penuh dengan taman, bukan? Keberadaan taman dan jenis pohon yang ditanam di berbagai titik di Surabaya ternyata memberikan sedikit manfaat.
Terjadi penurunan suhu hingga 2 derajat Celsius. Dari pembuatan RTH ini sendiri, Kepala BMKG memberikan apresiasi kepada pemerintah kota Surabaya yang disampaikan langsung di rumah dinas walikota Surabaya, Tri Rismaharini, Februari 2020 lalu.
Perubahan Iklim dan Pola Penggunaan Energi Masa Pandemi
Seaat diputuskan semua harus dilakukan di rumah saja, maka sadar atau tidak sadar terjadi peningkatan dari penggunaan energi, seperti listrik, gas dan utamanya air karena di tengah pandemi kita dituntut untuk terus menjaga kebersihan, seperti cuci tangan.
Begitupun yang terjadi di kota Surabaya dimana pola konsumsi energi pun mengalami peningkatan. Karena jujur saja, saya sebagai salah satu warga Surabaya pun harus beradaptasi untuk tetap di rumah saja selama pandemi. Dan proses adaptasi ini kemudian menjadikan pola penggunaan energi, seperti listrik untuk kipas angin atau AC di siang hari sangat perlu karena cuaca yang sangat panas. Belum lagi penggunaan air yang menuntut untuk terus menjaga kebersihan, minimal rajin cuci tangan.
Grafik di atas menunjukkan bagaimana penggunaan energi listrik dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Tanpa pandemi saja, grafik terus naik. Tentunya selama adanya pandemi dan harus di rumah saja, konsumsi listrik pasti meningkat signifikan.
Dampak Kenaikan Penggunaan Energi
Lalu, apakah ada dampak dari penggunaan energi yang meningkat di tengah pandemi ini? Oh, tentu saja. Sadar atau tidak, dampaknya selalu ada, sedikit atau banyak. Sedikit uraian danpaknya sebagai berikut:
#1. Tagihan Listrik Ikut Naik
Selama ini tagihan listrik yang dibayarkan tentunya berdasarkan dengan pemakaian, bukan? Kalau sebelum pandemi tagihan listrik biasa saja karena memang pemakaian di rumah tidak begitu banyak, apalagi kalau semua anggota keluarga lebih banyak beraktivitas di luar.
Nah, sekarang semua serba dilakukan di rumah, otomatis pemakaian listrik pun bertambah. Mulai dari peralatan elektronik seperti ponsel, laptop, televisi atau bahkan perangkat game yang menjadi salah satu alternatif kegiatan anak di rumah.
#2. Belanja Online Lebih Sering
Kebiasaan belanja online seolah menjadi gaya hidup di tengah pandemi. Namun, menurut pemikiran saya, kebiasaan belanja secara online ini bukan sesuatu yang buruk karena alasan untuk menghindari kerumunan di pasar atau antrian panjang di minimarket apalagi kalau desak-desakan di ruang publik lainnya.
Namun, perlu diperhatikan bahwa setiap orang akan mengalami dampak yang berbeda mengenai belanja online ini. Bagi saya, selama punya pengendalian diri dan tahu mana barang-barang prioritas tentunya dampak negatif seperti boros karena memanfaatkan promo bebas ongkos kirim misalnya, bisa ditekan. Karena kalau bukan kita sendiri yang mengontrol, siapa lagi?
#3. Sampah Rumah Tangga Ikut Meningkat
Ya, tidak bisa dipungkiri bahwa tadinya sebagian waktu berada di luar rumah dan sekarang semuanya dilakukan di rumah, pastinya hasil akhir dari pola konsumsi kita adalah sampah. Terlebih dari makanan yang dipesan secara online. Tentunya ini menjadi PR besar bagi setiap rumah tangga untuk mencari solusi pengelolaannya.
Langkah Nyata yang Bisa Dilakukan sebagai Bentuk Bijak Energi di Tengah Pandemi
Jujur saja, saya hanyalah seorang ibu dengan dua anak yang masih kecil. Jika ditanya mengenai langkah nyata saya dalam menghemat energi, antara lain:
Mematikan Perangkat Elektronik yang Tidak Terpakai
Karena saya sibuk mengurus anak tetapi juga harus tetap bekerja sebagai penulis online, maka di saat saya mengasuh, peralatan menulis seperti laptop, ponsel dan juga lampu saya off-kan sampai waktu yang kondusif untuk saya pakai kembali.
Tentunya ini mengalami perbedaan pola pemakaian listrik sehingga bisa menghemat sedikit pengeluaran pada pos tagihan listrik bulanan. Meskipun seringkali ada promo potongan dari pembayaran listrik, tentunya itu bukan jadi alasan saya untuk seenaknya menggunakan listrik.
Sesekali Memesan Makanan Produk Jualan Teman
Hal ini untuk menghemat penggunaan kompor listrik. Ya, kebetulan di rumah sangat berisiko menggunakan alat masak dengan sumber energi dari tabung gas, maka kompor listrik jadi solusi. Dan penggunaan kompor ini pun tidak setiap hari. Biasanya saya memasak dalam sekali waktu itu sudah cukup untuk 2 hari.
Nah, saya memanfaatkan teman-teman yang sedang berjualan makanan berupa lauk-pauk dengan membeli dagangan mereka. Harganya tentu masih lebih murah dibandingkan saya membuatnya sendiri. Dan biasanya, 1 pack lauk yang kami beli masih bisa dikonsumsi hingga 3 hari ke depannya. Ya tentunya semua orang tahu cara mengawetkan makanan, seperti dimasukkan lemari es, disimpan pada wadah anti kedap udara dan masih banyak lagi. Pastinya, membeli masih lebih praktis untuk saya dan keluarga dalam menghemat listrik dari penggunaan kompor untuk memasak.
Kemasan Makanan yang Dibeli Dipakai Lagi Jika Masih Memungkinkan
Sekarang sudah banyak sekali penjual makanan yang menggunakan wadah anti panas, anti leleh dan berbagai macam sebutannya sehingga bisa dipakai kembali. Nah, sebisa mungkin saya menyimpan kemasan tersebut. Jika pun tidak menyimpannya karena khawatir barang-barang di rumah semakin bertambah dan menimbulkan masalah baru, saya biasanya memberikannya kepada tetangga yang membutuhkan wadah tersebut.
Bahkan tidak jarang wadah makanan tersebut dipakai anak untuk bermain daripada mengeluarkan bujet membeli mainan baru. Sebab di usia anak saya saat ini masih suka bermain dengan apa saja.
Tidak Lapar Mata Terlebih untuk Urusan Makanan
Nah, karena kebetulan sekali pandemi ini pun terjadi di bulan Ramadan, maka pola konsumsi masyarakat terhadap berbagai jenis makanan pun selalu naik. Sebab, beraneka takjil yang menarik mata menjadikan kita tidak segan-segan untuk membeli. Padahal, seberapa banyak sih yang bisa dikonsumsi oleh tubuh kita? Segelas air di awal buka dan sepotong kue saja, itu sudah membuat kita terbebas dari haus dan lapar saat berpuasa di siang hari.
Jadi, langkah saya benar-benar mengurangi membeli takjil yang banyak dengan berbagai jenis. Alasannya karena menghindari sisa. Nasib baik jika makanan saat berbuka masih bisa dikonsumsi saat sahur, atau mungkin buka puasa keesokan harinya. Kalau tidak? Pastinya dibuang sia-sia, bukan? Malah menambah dosa karena membuang makanan karena mubadzir.
Belanja Online Jika Semuanya Bisa
Keperluan sehari-hari seperti sabun, pasta gigi, beras, atau lainnya yang masih bisa dibeli secara online, maka ini baik dilakukan. Selain mengurangi pemakaian bensin, belanja di luar bucket list atau yang lebih parah adalah risiko terpapar virus, belanja online juga bisa membuat kita tidak mematikan usaha ekspedisi yang ada.
***
Well, beberapa dari langkah yang saya ambil di atas pun sedikit banyaknya senada dengan apa yang disampaikan oleh Ruang Publik KBR yang menghadirkan narasumber secara video conference :
- Verena Puspawardani, selaku Direktur Program Coaction Indonesia
- Andrian Pram, selaku Penasihat Komunitas Earth Hour Cimahi
Dari diskusi publik yang dipandu host Don Brody, mengangkat tema “Bijak Pakai Energi di Tengah Pandemi” diberikan berbagai gambaran mengenai kondisi masyarakat saat ini di tengah pandemi dan solusi simple but sure yang bisa dilakukan. Pastinya menurut mereka yang paling bisa dilakukan saat ini adalah tetap di rumah saja karena hal ini setidaknya sudah mampu menurunkan emisi gas buangan kendaraan dan meminimalkan penyebaran Covid-19 menjadi lebih tinggi.
So, tetap di rumah selama pandemi dan bijak pakai energi!
***
Saya sudah berbagi pengalaman soal climate change. Anda juga bisa berbagi dengan mengikuti lomba blog “Climate Change” yang diselenggaraakan KBR (Kantor Berita Radio) dan Ibu-Ibu Doyan Nulis”. Syaratnya, bisa Anda lihat di https://bit.ly/LombaBlogIklimKBRfeatIIDN
***
Referensi:
- https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2020/01/10/konsumsi
- listrik-nasional-terus-meningkat
- https://id.wikipedia.org/wiki/Perubahan_iklim
- https://www.suarasurabaya.net/kelanakota/2020/bmkg-puji-cara-adaptasi-surabaya-di-tengah-perubahan-iklim/
- https://chemistrahmah.com/perubahan-iklim-dan-peradaban-manusia.html
2 Responses
Bagus Mba. Penjelasannya gampang dicerna dan informatif. Meningkatkan kesadaran untuk menjaga Bumi kita.
Perubahan iklim yang tidak terprediksi memang membuat khawatir. Tp kita bisa berusaha menjaga lingkungan dan mulai berhemat memakai plastik dan beralih ke bahan yang bisa didaur.
Sukses tulisannyam ditunggu tulisan selanjutnya. ❤️
Waah Surabaya lebih panas dari Makassar yoo? Aku pernah ke Surabaya, taman bungkul ijoo banget dan bersiih. Ada sampah 1 aja langsung dipungut orang yg ada di taman. Moga selalu terjaga kebersihannya yaa Surabaya..