“Bu, hari ini jadi masuk kelas kami?”
“Iya. Kan hari ini ada jadwal evaluasi mingguan.”
“Maafkan, Bu. Beberapa anak-anak tidak bisa masuk karena asap.”
“Asap? Maksudnya?”
“Lho ibu tidak merasakan asap? Di kampus lumayan tebal asapnya, Bu. Meski pakai masker khawatirnya tidak maksimal juga menerima kuliah.”
“Saya hubungi lagi nanti.”
***
Masih teringat percakapan saya dengan ketua tingkat jurusan Kimia, Universitas Palangkaraya. Ya, saya dulu mengajar di sana sebelum resign karena hamil anak pertama. Hidup di Palangkaraya yang masih banyak hutan di sekeliling itu memang challenging waktu itu. Jangan tanya bagaimana sikap warga di sana karena so far semua baik dan memberikan kenangan tak berbilang.
Ya, saya sempat merasakan duka selama di sana. Kebakaran hutan memang benar terjadi. Bukan sekadar berita di TV yang sengaja diangkat isunya. Dampaknya memang sudah kemana-mana. Akhirnya perkuliahan pun ditiadakan karena khawatir ada yang sesak napas atau bahkan pingsan. Saya sendiri yang baru pertama kali merasakan asap tersebut sungguh dibuat khawatir.
“Siapa yang membakar hutan?”
“Sengaja terbakar atau memang spontan karena gesekan kayu-kayu di hutan?”
“Siapa yang bertanggung jawab kemudian?”
Pertanyaan-pertanyaan di atas berkecamuk saat masih di sana. Ketika bertanya pada dosen yang lebih senior, mereka memilih menutup mulut. Takut jika opininya memperkeruh keadaan atau malah salah menuduh, efeknya bisa fatal.
“Bu Rahmah fokus ngajar saja ya. Biarkan masalah hutan kebakaran jadi urusan pemerintah setempat.”
mbatinku sih “Masa iya semua diserahkan Pemerintah sementara upaya pencegahannya belum sempurna. Tahun lalu juga ada kebakaran hutan pun tahun-tahun sebelumnya.”
Namun, saya pun seperti dipaksa untuk menerima keadaan. Mau marah ya bingung marah ke siapa. Akhirnya saya pun mencoba menata hati dan mencari cara agar mahasiswa (i) bisa tetap kuliah dengan nyaman. Waktu itu belum ada online jadi saya minta mereka satu per satu ke kontrakan untuk evaluasi.
Padahal kalau kita mau sejenak meresapi, hutan-hutan yang ada di Kalimantan itu masih sangat cantik. Tahun 2011 saya merantau ke Palangkaraya, beberapa spot masih banyak pohon-pohon yang bibit-nya asli diambil dari hutan untuk dijadikan hutan kota versi mini. Bahkan sempat diajak untuk melakukan penelitian di area Taman Nasional Sebangau. Sebuah taman dengan hutan bakau yang indah dan beberapa tanaman unik dan bisa tumbuh baik di daerah tersebut.
Yuk, Ingat Kembali Fungsi dan Manfaat Hutan!
Saya percaya bahwa semua orang yang bersekolah pasti pernah disampaikan atau setidaknya membaca mengenai hutan beserta dengan fungsinya.
Sebagai paru-paru bumi, manfaat hutan diciptakan Tuhan di bumi yang paling kita ingat sejak duduk di bangku sekolah adalah mencegah terjadinya banjir, bukan? Sekarang apakah banjir sudah tidak terjadi? Justru makin banyak banjir dan makin parah ketika terjadi.
Selain itu, fungsi dan manfaat hutan yaitu:
- Menyerap CO2
- Pengatur iklim
- Tempat cadangan air tanah
- Mengatur intensitas curah hujan
- Sumber obat-obatan herbal
- Tempat berkumpul-nya flora dan fauna liar serta unik
Namun, sepertinya ada yang menjadikan hutan sebagai sumber daya tanpa batas dengan segala aktivitas tanpa batas pula. Segala cara dihalalkan demi mendapatkan keuntungan dengan berdalih bahwa sekadar memanfaatkan keberadaan hutan.
Langkah Sederhana dalam Melindungi Hutan
“Bisa apa kamu sebagai IRT untuk melindungi hutan?”
Perih rasanya mendengar kalimat ini. Jantung seperti mau berhenti berdetak saja. Namun, itu dulu. Kalau sekarang ditanya hal yang sama, maka saya berani jawab, “Ada banyak yang bisa saya lakukan sebagai IRT untuk melindungi hutan.”
Tidak perlu muluk-muluk juga. Soalnya saya punya anak tiga sehingga untuk aksi nyata berupa langkah menanam pohon ke hutan sepertinya akan sulit. Namun, bukankah yang menanam pohon di hutan pun sudah banyak? Maka sebagai IRT perlu langkah sederhana tetapi terus berlanjut dan menjadi kebiasaan.
Apa saja itu?
Ikut Suarakan Lindungi Hutan via Blog dan Media Sosial
Siapa sih yang tak kenal blog dan media sosial seperti Instagram, Tiktok dan sejenisnya? Informasi dengan mudahnya diperoleh masyarakat dari media tersebut. Nah, tidak ada salahnya ikut menyuarakan peduli akan keberadaan hutan, baik dengan tulisan, video pendek, atau foto-foto.
Tidak perlu keluar rumah. Tulisan yang kita buat bisa jadi menyentuh hati seseorang sehingga mau bergerak lebih nyata di luar sana. Betapa besar pahalanya jika demikian.
Minimalisasi Sampah dari Rumah
Apa kaitannya sampah dengan hutan? Ada dong!
Sampah rumah tangga yang tidak mampu diolah dengan baik akan mencemari tanah dan secara luas bisa mengganggu ekosistem hutan. Apalagi kalau sampah anorganik bertumpuk, tentu sangat mengganggu. Untuk itu, sebaiknya dari rumah tidak menghasilkan banyak sampah.
Jika ada sisa makanan, bisa dikumpulkan dan diolah menjadi pupuk. Bisa mengikuti prosedur membuat pupuk organik melalui youtube atau dari informasi mana saja. Kemudian setelah pupuk tersebut terbentuk bisa digunakan untuk tanaman di rumah.
Sayangnya, saya masih dalam kondisi ngontrak di mana teras depan masih sangat sulit menanam banyak tanaman. Untuk itu, bisa saya berikan ke tetangga yang memiliki peliharaan tanaman.
Jaga Sikap Saat Berada di dalam Hutan
Saat ini banyak tempat wisata dengan setting mini hutan. Bahkan ada yang memang benar-benar di tengah hutan. Nah, upayakan menjaga sikap ketika berada di dalam hutan dengan tidak bertindak seperti orang yang tidak terpelajar. Sampah tidak dibuang sembarangan. Jika ingin buang air kecil atau besar, mintalah ke petugas setempat untuk menunjukkan cara dan jalannya. Jangan melakukannya di sembarang tempat juga. Dan masih banyak lagi hal yang bisa dilakukan tanpa membuat ekosistem hutan terganggu atau menjadi rusak.
***
Well, sederhana apa pun langkah yang kita ambil untuk menjaga hutan, jika sudah menjadi habit dan diturunkan ke generasi (baca: anak cucu) tentu hutan tidak lagi khawatir dengan kesehatan bumi secara keseluruhan.
8 Responses
Setuju bangets kita harus bergerak bersama untuk menjaga hutan. Mulai dari hal ringan
Jadi apapun kita sekarang, kita tetap bisa berkontribusi menjaga hutan. Semoga hutan Indonesia makin terawat dan terjaga.
Saya setuju banget nih, ternyata sebagai ibu rumah tangga kita juga bisa ikut menjaga hutan dengan cara menyuarakan lewat sarana seperti blog atau sosmed. Atau juga dengan menjaga lingkungan melalui gaya hidup sustainable lifestyle.
Sedih kalau kejadian Karhutla, soalnya beneran habis hutan beserta isinya dalam sekejap, padahal menumbuhkan pohon dan ekosistem butuh waktu lama. Sementara Kita butuh keberadaan hutan
Duuhh kebayang gimana nggak nyamannya ketika hidup terkepung asap dan jerebu karena kebakaran hutan. Tapi sepakat sih sama Kak Amma. Nggak semua hal memang bisa kita serahkan sepenuhnya dan apa adanya ke pihak pemerintah. Bagaimana pun kita sebagai warga masyarakat juga perlu bergerak. Kerennya Kak Amma mulai meminimalisir sampah dengan memberikan sampah organik ke tetangga untuk diolah. Aku di sini masih berjuang pilah sampah saja karena memang minim lahan juga. Sampah organik masih terbawa ke TPA tiap minggunya. Kalau sampah anorganik, kupilah dan kukirim ke waste management. Sayang nggak semua jenis sampah bisa terolah. Ujungnya yaaa ada saja sampah anorganik berakhir juga ke TPA.
Yes, penting juga untuk kita menjaga sikap ketika berada di hutan dengan tidak buang sampah sembarangan atau pipis semau-maunya. Tapi di luar apa yang bisa kita lakukan sebagai individu, IMHO, peran pemerintah dalam menjaga kelestarian hutan tetap yang paling besar dan berdampak.
Di Kalimantan masih banyak hutan ya mbak. Dan kemungkinan terjadi kebakaran hutan sangat ada. Apalagi pas kemarau. Sangat disayangkannya lagi jika kebakaran hutan diakibatkan oleh ulah oknum tak bertanggung jawab
Aku tuh jadi kangen banget main ke hutan, terus kemping di gunung. Suka kesel kalau ada yang buang sampah gitu. PAdahal menjaga kebersihan dan kelestarian hutan penting banget, dan itu harus dilakukan bersama-sama