“Bu, bulan depan ada pertandingan lari Marathon. Aku terpilih mewakili sekolah.”
“Wah, bagus itu, Do.”
“…” Wajah murung Aldo mencuat seketika.
“Kamu kenapa cemberut begitu, Do? Bukannya itu cita-cita mu sejak dulu?” Tanya Ibu Aldo sembari tangannya terus memotong-motong ketela untuk sajian malam nanti.
Masih tak ada suara yang terdengar dari mulut Aldo. Matanya menoleh ke sudut ruangan yang seisi rumah tahu kalau itu rak sepatu. Ya, di sudut ruangan itu sudah tampak sepatu yang terletak di rak paling atas adalah sepatu olah raga yang sudah butut, miliknya. Sepatu yang sudah menemani perjalanan sekolah Aldo sejak tiga tahun terakhir ini. Aldo tak pernah meminta karena hatinya sadar betul jika kondisi keuangan sang Ibu tak pernah cukup meskipun hanya dicukup-cukupkan saja.
credit
“Tidak apa-apa, Ma.” Aldo menjawab sambil berlari keluar rumah. Tak ingin air matanya menetes di depan sang Ibu. Merengek meminta dibelikan sepatu baru bukan jati diri Aldo. Lebih mampu menerima apa adanya, sikap yang membuat Aldo tetap bisa terus bertahan dengan kondisi hidupnya.
“Aldooo… mau kemana kamu? Sudah hampir malam, nak. Tak usah keluar lagi.” Teriak sang Ibu meskipun masih terus saja berpacu dengan waktu bersama masakannya. Memang hanya merebus ketela tetapi segala perlatan terbatas sehingga repot tidak bisa dicegahnya.
***
“Aldo, ikut saya ke ruang guru.” Pinta Pak Dion kepada Aldo sesaat sebelum waktu istirahat sekolah.
“Baik, Pak.”
Di ruang guru…
“Aldo, kamu sanggup mewakili sekolah kita untuk pertandingan bulan depan, bukan?”
Aldo terdiam. Menunduk tak mampu menatap wajah Pak Dion. Pak Dion pun mulai khawatir dan ragu serta bertanya-tanya dengan kondisi Aldo.
“Bagaimana, Do? Mengapa kamu diam? Kamu sakit?”
Aldo menggeleng dengan wajah masih tertunduk. Ingin sekali Aldo mengikuti dan mewakili sekolahnya tetapi tak punya sepatu yang bisa membawa kakinya menuju garis finish. Bukan tak punya sama sekali tetapi sepatu butut itu sudah sobek.
***
Tuhan…
Bukan aku ingin memaksa Ibu, tetapi aku butuh sepatu
Aku sudah mencoba membantu dengan ikut memecah batu
Tetapi kupakai membeli lauk untuk ibu
Ini permintaanku yang ke delapan belas, meskipun tujuh belas lainnya adalah permintaan untuk Ibuku
Kali ini aku hanya meminta sepatu agar aku bisa ikut pertandingan itu
Hadiahnya akan kubelikan Ibu sebuah mesin jahit baru
Agar Ibu bisa kembali menjahit seperti dulu
Meski setelah permintaan ke delapan belas ini tak akan meminta lagi untuk kebutuhanku
(Doa ke-18)
Mata ibu Aldo bercucuran air mata. Tak menyangka jika Aldo sudah berdoa sedemikian rajinnya untuk dirinya. Sementara Aldo sama sekali tak pernah memikirkan kebutuhannya. Namun sepatu baru menjadi impiannya saat ini.
Aldo, maafkan Ibu sayang. Ibu belum bisa mewujudkan harapanmu memiliki sepatu baru saat ini. Tuhan, andai saja aku bisa mendapatkan pekerjaan tambahan…
Total: 407
One Response
hiks…hiks…jadi inget Ibu,,doa apa yang sudah ku pajkatkan untuk Ibuku