Kalau ditanya soal benda pribadi legend dari masa kecil sebenarnya bikin saya harus menahan kerinduan yang amat dalam. Ya, rindu dengan sosok almarhum bapak jadinya apalagi kalau waktu sudah menjelang malam. Mengapa? Saya selalu ingat kalau bapak selalu mendongengkan kisah orang sukses dengan berbagai perjuangan yang dilakukannya hingga bisa mencapai impian. Nah, dari kebiasaan itu saya selalu ingat dengan aroma sarung bapak, meski banyak sarung lain, tetap saja sarung itu dipakai terus karena nyaman.
Benda Legend Masa Kecil yang Masih Ada Sampai Sekarang
Banyak sih dan semua jadi eman- eman dibuang karena memang masih bagus bahkan digunakan sampai sekarang. Ada yang statusnya hanya berupa koleksi, ada juga yang memang diturunkan ke keluarga paling dekat karena masih sayang diberi orang lain. Bukan pelit, tetapi lebih kepada nilai sejarahnya.
Sayangnya, benda legend itu tidak bisa saya munculkan di tulisan ini karena memang fotonya jarang diambil. Alasannya karena domisili saya sering berpindah-pindah. Saya khawatir itu hilang dan rusak sehingga akhirnya akan dibuang. Itu yang saya jaga. Makanya beberapa tetap disimpan di rumah mama, di kampung halaman saya Maros, Sulawesi Selatan.
Berikut beberapa barang legend yang masih ada sejak masih kecil:
Sepeda Lipat
Sepeda ini saya dapatkan dari almarhum kakak sepupu yang berlayar ke Jepang. Saya masih ingat usia waktu itu masih SD. Bertepatan pula memang sangat ingin punya sepeda seperti teman-teman lainnya. Namun, sistem keluarga saya tidak sama dengan orang lain di mana anak-anak bebas keluar rumah untuk bermain. Tidak. Saya bersepeda hanya di halaman rumah saja. Jika pun keluar itu pun tidak boleh jauh lebih dari 1 Km dari pagar rumah.
Ya, kakak sepupu memang suka dengan anak kecil karena waktu itu belum dikaruniai anak maka dia menganggap adik-adiknya meski sepupu itulah yang jadi anak mereka. Maklum, jarak usia kami memang jauh. Boleh dibilang juga almarhum bapak saya telat menikah jadinya beliau punya ponakan yang sudah besar-besar padahal belum menikah.
Saat ini sepeda lipat saya itu ada di rumah sepupu di Maros karena memang diminta untuk menggunakan dan merawatnya. Kebetulan saya empat bersaudara sudah punya keluarga masing-masing jadi sepeda itu sangat tidak wajar jika dimiliki oleh salah satu dari kami padahal tadinya dibeli untuk dipakai bersama, meski anak tertua (saya) punya hak lebih banyak.
Prangko
Ini karena saya hobi menulis dan berkirim surat dengan sahabat pena. Selain itu, dulu di kantor kerja bapak selalu ada surat masuk yang masih menggunakan prangko sebagai biaya jasa layanan pos. Hobi itu didukung sepenuhnya oleh bapak karena kebetulan juga ada teman beliau yang bersekolah di Jerman waktu itu. Sering berkirim kartu pos dan otomatis saya senang melihat prangko-nya yang cantik-cantik.
Tanpa terasa saya sudah mengumpulkan banyak prangko dengan gambar dan seri yang unik. Ternyata kebiasaan itu tetap ada bahkan sampai sekarang saya masih berkirim kartu pos dengan orang-orang yang tergabung dalam Postcrossing. Kalau Indonesia namanya KPI, Komunitas Postcrossing Indonesia, saya berada di wilayah Surabaya.
Prangko itu semakin lama semakin berharga. Meski bagi sebagian orang itu hanyalah benda pos yang tak bernilai, bagi kami yang menyukai, mendapatkan prangko dari luar negeri dan asli itu sangat berarti. Dan sekarang bisa diikutkan pameran dalam komunitas jika ada tema yang sesuai dengan koleksi prangko tersebut.
***
Well, sebenarnya masih ada yang lain seperti binder, pena bahkan kaos kaki, hanya saja fungsinya sudah tidak seperti dulu. Lebih mengamankan saja karena nilai sejarahnya tinggi. Bahkan saya ada uang koin 500 rupiah bergambar bunga yang masih disimpan karena itu pernah jatuh di kloset, haha. Tidak dibelanjakan karena itu adalah nilai uang terbesar yang saya punya di usia kelas 3 SD.