Ayah… Saya Naik Pesawat Terbang! adalah postingan request untuk yang ingin mengetahui kisah saya saat pertama kali naik pesawat terbang. Eits, jangan ditertawakan yah. Soalnya benar-benar bercampur aduk rasa kala itu. Senang, terharu, sedih bahkan takut menyerang silih berganti.
Keinginan naik pesawat terbang sebenarnya sudah sejak kecil. Saat itu saya dengan Ayah sedang berdiskusi dengan pelajaran bahasa Inggris untuk usia SD. Saya senang sekali melihat pesawat terbang. Alasannya sederhana, jendelanya banyak, bentuknya seperti burung tetapi terbuat dari besi. Ayah juga sering menceritakan soal Bapak BJ. Habibie bahkan tersirat motivasi di balik ceritanya untuk saya. Di balik cerita-cerita tentang sosok BJ. Habibie tersebut, Ayah menanamkan kesadaran untuk tidak pernah berhenti mengejar cita-cita dengan terus belajar.
Saking Ayah tahu kalau saya penasaran dengan pesawat terbang, sepulang dari melaksanakan ibadah haji, ada oleh-oleh mainan pesawat terbang yang Ayah belikan dulu. Mainan tersebut juga bergerak dan bersuara dalam kondisi layaknya akan lepas landas. Hmmm… tetapi namanya mainan, pasti ada masanya untuk rusak. Apalagi mainan tersebut dipegang tidak hanya saya sendiri tetapi kedua adik laki-laki saya.
Back to the point…
Menyulam keinginan untuk naik pesawat terbang terus. Hanya terus berniat dan yakin bahwa kelak suatu saat pasti akan naik pesawat terbang. Tahun 2010, Ayah meninggal dunia seperti yang saya sudah ceritakan sebelumnya di SINI. Cita-cita saya bisa naik pesawat terbang bersama Ayah tidak ditakdirkan ternyata. Sedih. Tetapi Allah Maha Mengetahui yang terbaik. Cita-cita untuk naik pesawat terbang baru terwujud tahun 2011 lalu karena harus ke Kalimantan untuk sebuah pekerjaan.
Pertama kali akan naik pesawat terbang, tentu rasanya bingung bercampur takut. Bingung karena harus berangkat sendirian sementara yang namanya bandara (baca: airport) sama sekali belum pernah saya sentuh di bagian dalam. Biasanya hanya menunggu di luar jika ada keluarga yang akan datang atau pergi ke luar kota. Otomatis hal atau sesuatu yang harus dilakukan di bandara sama sekali blank. Untunglah saya punya adik yang memiliki akses masuk ke bandara meskipun tidak bertindak sebagai penumpang. Meminta izin menemani saya sampai ke ruang tunggu (batas dimana yang benar-benar bukan penumpang tidak lagi bisa masuk – selain petugas).
Masuk ke pintu bandara diperiksa petugas untuk kelengkapan tiket. Setelah melewati petugas tersebut, selanjutnya adalah melalui X-Ray. Seluruh barang bawaan dimasukkan ke dalam mesin khusus untuk mendeteksi keamanannya termasuk saya juga. Saat itu lumayan antri, sehingga adik yang menemani saya sering berpesan jika suasana ramai seperti itu harus lebih berhati-hati karena jangan sampai ada barang yang ketinggalan atau malah tertukar dengan barang bawaan penumpang lain.
Setelah dari X-Ray, ke loket check-in maskapai penerbangan yang akan membawa saya terbang ke Kalimantan. Di antrian tersebut, barang yang akan dimasukkan ke dalam bagasi pesawat dititipkan sekaligus membayar airport tax sebagai administrasi. Setelah semua itu beres, kemudian masuk ke ruang tunggu sebagai tahap akhir sebelum diminta naik ke dalam pesawat. Nah, di posisi inilah rasanya nyesek. Dalam bayangan saya saat itu, ada Ayah yang menemani dan bisa naik pesawat bersama tetapi sayang sekali bukan takdir untuk kami. Meskipun demikian, Ayah masih tetap ikut karena foto Ayah saya simpan di saku jaket serta semangat Ayah yang terus tumbuh di hati dan tak akan pernah mati.
Adik memeluk dengan begitu sayangnya hingga lagi-lagi air mata tidak terbendung. Tetapi saya harus berangkat. Hmmm… berjalan menuju ke pesawat kembali membuat saya harus menahan jantung yang berdebar terlalu kencang. Takut. Doa terus terucap.
Tiba di dalam pesawat, saya duduk di bagian tengah. Kanan saya seorang cewek yang usianya lebih muda. Di kiri saya seorang kakek. Gugup saat memasang sabuk pengaman, serius memperhatikan pramugari dan yang paling sering adalah mata memandang ke segala penjuru dan membaca setiap jenis tulisan yang terdapat di pesawat. Bahkan saya menitip pesan ke pramugari agar diperhatikan sesekali soalnya saat itu adalah pertama kali saya naik pesawat. Pramugari meminta saya rileks.
Dengan doa, posisi saat lepas landas memang membuat tegang tetapi karena mencoba rileks akhirnya bisa teratasi dan akhirnya menikmati perjalanan. Sempat sesekali kaget dan rasa tegang itu kembali lagi karena posisi pesawat yang menabrak awan. Dan baru pertama kali pula melihat awan asli secara langsung melalui jendela pesawat.
Sebenarnya penerbangan itu tidak langsung ke Kalimantan. Transit di Jakarta dulu. Nah, kebingungan kembali datang saat memasuki bandara Soekarno-Hatta tersebut. Benar-benar bingung karena beda dengan bandara Sultan Hasanuddin. Kebingungan sedikit teratasi karena Paman yang berdomisili di Jakarta selalu memantau melalui ponsel. Bahkan sejak di bandara Sultan Hasanuddin, beliau sudah memandu dan memberikan rambu-rambu secara lisan.
Dibandingkan bandara Sultan Hasanuddin, bandara Soekarno-Hatta memang luas tetapi sedikit membingungkan bagi saya pribadi. Nah, di bandara Soetta ini juga saya kemudian juga diuji pengetahuan dengan kondisi pesawat yang menurut informasi kurang baik. Semua penumpang sudah masuk ke dalam pesawat tetapi mendadak harus kembali ke ruang tunggu terminal bandara karena pesawat mengalami kerusakan. Huaaahhh… pertama kali naik pesawat sudah dihadapkan pada kondisi demikian. Khawatir?! Pastinya, iya. Tetapi kembali bersikap tenang. Dan yang membuat sedikit lega karena gugup naik pesawatnya sudah berkurang karena pengalaman naik pesawat dari bandara Sultan Hasanuddin – Soekarno Hatta. Sayang sekali saat naik pesawat kedua kalinya tidak bisa melihat pemandangan awan karena hari sudah malam saat itu.
Tiba di bandara Tjilik Riwut mata saya kembali dikejutkan lagi dengan kondisi bandara yang imut. Yah, pada intinya bandara tergantung bagaimana sebuah daerah melakukan pembangunan atas kemajuannya. Dan setelah tiba di tempat yang saya harus menghabiskan beberapa waktu di Kalimantan, tak lupa sujud syukur karena sudah bisa naik pesawat terbang.
Ayah sudah menemani sekaligus menjaga semangat saya saat sendiri melakukan hal yang harus dilakukan. Walau dalam raga Ayah tak bersama saya di pesawat, saya yakin Ayah bangga. Ayah… Saya Naik Pesawat Terbang!
NB:
Tragedi naik pesawat, setelah yang pertama tersebut, dalam kondisi buruk juga pernah saya alami. Semoga ada kesempatan menulisnya lagi…
Terus bermimpi dan biarkan Allah yang menjawab mimpi itu dengan cara-Nya…
9 Responses
Wow … dan sekarang Amma bolak-balik Kalimantan – Jawa – Sulawesi naik pesawat 🙂
@Mugniar,
Alhamdulillah banget dah bisa merasakan beberapa maskapai penerbangan
#nggak kebayang sama sekali
jd inget pengalaman pertama naik pesawat. Sok cool bgt lah saya 😀
@keke naima,
heheheh penasaran liat foto cool-nya mak 😀
iya kak waktu pertama naik pesawat excited + deg-degan banget yaa..
btw kak ragmah temennya fajar yaa? baru tahu barusan pas Fajar liat blog aku.. x)
makasih udah mampir yaa kak 🙂
@nyapurnama,
hehehe iya
salam kenal juga yah
Fajar? Fajar yang tadinya tinggal di Daya dan sudah menikah trus suka fotografi? Kalau iya, memang dia teman saya waktu SMA… saingan berat juga di akademik 🙂
Assalamu Alaikum..membaca ini..jadi terkenang dulu pertama kali naik pesawat.. Keep writing sizt.. you are definetly a g8 writer 😉
@zulfiah ulfa,
iya kakak…
terima kasih sudah membaca tulisan-tulisanku 🙂
#ada rindu begitu dalam padamu
sekarang sudah terbiasa ya mbak naik pesawat,serasa naek angkot aja kali