Search
Close this search box.

Sekelumit Kisah tentang Kopi

Penulis merupakan sebuah profesi yang sudah terbayang sejak kecil. Asyiknya menuangkan segala rasa dan apa saja yang berkutat dalam pikiran menjadikan beban kepala sedikit berkurang. Tak tertawan oleh beban untuk berbagi. Semua terungkap dalam rajutan kata demi kata hingga membentuk sebuah makna tersendiri. Daripada harus melampiaskan kepada sebuah aktivitas yang merugikan, lebih baik menulis. Untuk itu sangat bersyukur karena mendiang ayah selalu mendukung. Apalagi ketika SMA ada puisi saya yang sempat menyita perhatian redaksi hingga keinginan untuk terus menulis selalu ada.

Bahkan dulu, ada teman setia yang selalu menemani tatkala menulis, apalagi kalau bukan kopi. Kandungan kopi yang bisa memberikan stimulan dan mengatur metabolisme membuat ide-ide yang berkumpul dalam pikiran dengan mudahnya tersalurkan. Bahkan terkadang sudah tak bisa membedakan siang dan malam kala itu. Serasa baru sebentar saja duduk untuk menulis dambil menyeruput kopi eh…di luar kamar sudah berubah menjadi malam kembali. Begitupun sebaliknya.

Memasuki dunia perkuliahan, ternyata “begadang” menjadi aktivitas rutin. Tentu tidak akan bisa bertahan lama jika tak diimbangi suplemen pendukung. Nah, kopi menjadi pilihan karena kandungan kafein yang betul-betul membantu. Apalagi bidang studi yang saya geluti adalah kimia tentu saja harus banyak tahu tentang kafein itu sendiri.

Sekelumit Kisah tentang Kopi
Rumus Struktur Kafein

Kafein yang merupakan senyawa metabolit sekunder yang terdapat dalam kopi. Senyawa ini masuk ke dalam golongan alkaloid, rumus molekulnya C8H10N4O2. Nama IUPAC kafein itu sendiri adalah trimetilsantin. Banyak yang mengira bahwa kandungan kafein lebih tinggi padahal sebenarnya justru teh. Kok bisa?! Ya, memang begitu. Untuk penjelasannya mungkin bukan di sini saya akan jelaskan. 😀

Back to the point…

Kehadiran kopi sungguh membuat saya kecanduan. Apalagi saat itu harus disibukkan dengan dunia tulis menulis, khususnya skripsi dan tesis. Keduanya benar-benar menyita waktu banyak. 24 jam sangat tidak cukup. Belum lagi karena waktu itu harus mengejar dosen pembimbing yang akan ke Jepang untuk studi. Otomatis draft tesis harus segera di ACC sebelum beliau berangkat. Dan lagi-lagi kopi menjadi penyemangat.

Manfaat kafein dalam kopi saat itu menggantikan posisi adenosin yang secara umum diketahui sebagai senyawa yang membuat mata mengantuk. Karena kopi, adrenalin terpacu sehingga terus saja bisa menulis. Bahkan di sela-sela waktu, saya masih sempat mengikuti lomba-lomba kepenulisan sastra karena tak tidur seharian.

Sekelumit Kisah tentang Kopi

Hmmm… mungkin itu saya yang dulu. Sejak dinyatakan lulus dari dunia perkuliahan yang melelahkan jasad dan ruh, hampir tak lagi pernah tersentuh kopi. Sebulan setelah tak menyentuh, saya mencoba untuk kembali menikmati kopi. Tetapi hasilnya malah detak jantung meningkat bahkan seringkali pusing melanda.

Sejak saat itu, saya tak berani lagi menyentuh kopi. Hingga akhirnya kemudian menikah dengan pecandu kopi. Awalnya sesak karena tenggorokan terasa gatal melihat sang suami menyeruput kopi dengan nikmat. Tanpa sepengetahuannya, saya mencoba membuat kopi. Meminumnya perlahan-lahan. Hasilnya, jantung sakit dan tubuh melemah. Dengan kondisi seperti itu saya tak lagi bisa menyentuh kopi. Bahkan karena keinginan mendalam, saya hanya menghirup aroma kopi saja sambil mengucap syukur atas nikmat-Nya. Memang tak bisa merasakan nikmatnya tetapi setidaknya aroma sudah mengobati keinginanku. Setiap hari bisa sampai tiga kali menghirup aroma kopi saat membuatkannya untuk suami.

Lalu, bagaimana dengan ide-ide yang ada di kepala? Apakah ikut terhenti karena kopi tak lagi menemani? Jawabannya tidak. Saya menganggap inilah bagian pahit saat tak lagi meminum kopi. Kopi yang rasanya pahit tak lagi bisa kurasakan secara detail melalui indera pengecap tetapi justru pahitnya berada pada ketidakmampuan jantungku untuk meminumnya kembali.

Ide tetap berjalan meskipun tanpa kopi. Semua tertuang dalam lembaran kisah perjalanan dengan pahit manisnya rintangan. Saya tetap bermimpi dan terus berusaha untuk menjadi penulis. Berharap suatu saat kopi menjadi teman setia kembali ketika jantung sudah mau kompromi.

Tulisan ini diikutkan dalam GA Lisa Gopar

Sekelumit Kisah tentang Kopi

Facebook
Twitter

Related Posts

2 Responses

Leave a Reply to Chemist Rahmah Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *