Search
Close this search box.

Etika Menasehati Teman atau Orang Lain

Etika Menasehati Teman atau Orang Lain

Etika Menasehati Teman atau Orang Lain – Saya tidak tahu apakah saya pantas menuliskan ini atau tidak. Sebab saya pun terkadang dilema dengan masalah “menasehati”. Dan memang benar, tahun 2015 ini ada dua kejadian yang tidak enak hanya karena berawal dari menasehati.

Etika Menasehati Teman atau Orang Lain

Sebenarnya, dalam agama masing-masing saling menasehati memang sangat dianjurkan, bukan? Hal itu untuk saling memberikan semangat dan makin mempererat persaudaraan antar sesama. Namun, bagaimana jika kemudian nasehat itu justru makin merenggangkan hubungan persaudaraan atau pertemanan?

Jika terjadi hal demikian, berarti perlu ditelisik lagi etika menasehati teman atau orang lain. Ya, terkadang kita terlalu kendali saat memberikan nasehat kepada teman atau orang lain. Boleh jadi karena saat itu diri kita merasa ada di sisi yang benar, sehingga kita lupa mengontrol kata-kata dalam memberikan nasehat. Sebab, nasehat terkadang bisa dimulai dengan kata-kata sederhana tetapi jika caranya yang salah, bukan malah menasehati tetapi terkesan memojokkan.

Kali ini saya mencoba mengingatkan diri saya pribadi dan (mungkin) juga teman-teman sekalian mengenai etika menasehati teman atau orang lain yang sesuai dengan agama, yaitu:

  • Menyampaikan dengan niat baik karena Allah, bukan untuk dianggap paling baik
  • Menyampaikan secara rahasia, bukan terang-terangan dalam suatu forum atau tempat umum sehingga “boleh jadi” mempermalukan orang yang dinasehati secara tidak langsung. Caranya bisa dengan SMS, surat atau lewat telepon.
  • Memilih kata-kata yang baik dan lemah-lembut
  • Memperhatikan kondisi mood orang yang dinasehati (akan terbaca dari bahasa tubuh atau mimik wajah)
  • Menjaga kesabaran jika yang dinasehati seolah tidak menerima atau memberikan sangkalan, karena setiap orang punya hak membela diri. Dengarkan saja dengan sabar dan tidak perlu kecewa karena merasa gagal menasehati
  • Menasehati perlu disertai dengan ilmu yang memadai. Misalnya, jika menasehati “sebaiknya, jangan membuang sampah sembarangan” setidaknya disertai dengan alasan-alasan yang masuk akal dan kalau perlu ditambahkan ayat-ayat Al Qur’an yang berhubungan dengan hal tersebut. Sehingga yang dinasehati merasa makin menambah ilmunya.
  • Memilih waktu yang tepat untuk menasehati, meski sekalipun itu teman yang sudah akrab lama.
  • Tetap bersabar dan menjalani hari-hari seperti biasanya, meski (mungkin) teman yang dinasehati sedikit menjauh atau lebih banyak diam. Berikan waktu berpikir.
  • Menghilangkan rasa “hebat” dalam diri setelah menasehati. Karena kebanyakan orang yang menasehati justru jatuh pada sifat sombong bahkan riya’
  • Melakukan atau mengaplikasikan secara terus-menerus apa yang sudah dinasehatkan kepada orang lain. Sebab kata-kata yang terlontar bisa menjadi pedoman orang lain yang mendengarnya akan diri kita sebagai penasehat. Sangat lucu jika menasehati orang untuk tidak berkata-kata kasar, tetapi prakteknya kadang kita justru melakukannya.

Nah, etika menasehati yang sudah saya sampaikan di atas, baik untuk teman atau orang lain, saya rangkum dari beberapa sumber dan pengalaman pribadi. Sungguh tidak nyaman memang berada dalam posisi menasehati ataupun dinasehati. Dua-duanya memiliki “rasa” sendiri-sendiri.

Menasehati harusnya menjadikan kita semakin berusaha menjadi lebih baik, karena kata-kata (atau mungkin disampaikan lewat tulisan) dalam nasehat tersebut lebih utama ditujukan pada diri sendiri dulu. Sedangkan jika dalam posisi dinasehati, berlapang dada jauh lebih baik dan tetap berprasangka positif terhadap yang menasehati. Bersyukur karena masih ada yang memberikan perhatian. Berikan kesempatan bagi yang menasehati untuk mendapatkan pahala dari apa yang dinasehatkan.

Jadi, mari saling nasehat-menasehati dalam kebaikan. Sebagaimana yang sudah tercatat dalam kitab suci agama Islam: “… dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat dan menasehati supaya menetapi kesabaran (QS. Al-‘Asr, ayat 3).

Facebook
Twitter

Related Posts

3 Responses

  1. Jadi ingat kemarin yg pada ngomongin seseorang yang sedang “lupa”. Meski menggunakan inisial2 tapi itu sama saja bergunjing. Lebih baik ditegur dg cara2 diatas.

  2. Betul tuh ada etikanya, apalagi kalo menasehati orang yang lebih tua atau yang memiliki jabatan yang lebih tinggi daripada kita,pasti ada caranya dan tidak sembarangan.
    Kalo sama teman, kalo teman itu berbuat kesalahan kecil dan mudah untuk diingatkan, ya pelan2 udah cukup. Tapi kalo teman yang ngotot itu yang kadang2 bikin gregetan, dibilangin susah dan punya idealisme bahwa yang dia lakukan selalu baik dan benar. Nah untuk orang yang seperti itu harus ada metodenya.

    Makasih infonya 😀

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *